Tuesday, February 15, 2011

Wahdatul Wujud Tinjauan Filosof Urafa

Doktrin wahdat al-wujud adalah doktrin yang fundamental dalam dunia tasawuf atau irfan (Islamic Mysticism), yang juga menjadi isu yang besar di kalangan para mistikus Islam dan mistikus non-Islam. Dan doktrin ini semakin menemukan bentuknya secara sistematis  dalam irfan Ibnu Arabi.

 Seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya bahwa yang real hanyalah Allah; Yang azali dan abadi;  wujud yang tunggal hanyalah milik Allah. Alam adalah wujud yang tidak mandiri.
 Wujud hakiki, meskipun tunggal tapi memiliki beragam manifestasi. Jadi tidak ada dualitas wujud yaitu antara wujud  Khaliq (pencipta) dan wujud makhluk (yang dicipta), tapi keduanya adalah satu wujud. Dengan kata lain wujud yang Hak itu kadang-kadang termanifestasi dalam wujud  makhluk dengan menurunkan level dirinya dalam level wujud  makhluk.

 Ibnu Arabi menuturkan: Apa yang kita katakan  tentang-Nya  pada hakikatnya adalah berbicara tentang sifat  dan tentang diri-Nya,  sebab eksistensi kita adalah eksistensi diri-Nya. Kita sangat memerlukan diri-Nya agar bisa eksis dan Ia juga memerlukan diri kita untuk melakukan tajali-Nya.

 Dalam pandangan Ibnu Arabi, Allah dan makhluk adalah satu dan satu  sama lain saling membutuhkan,  jadi makhluk adalah dirimu dan sifat al-Hak,   hanya saja wujud hubungan keberadaan terhadap Allah adalah hubungan real (hakiki) dan yang lain hanyalah hubungan metaforis (majazi).
 Dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, di bab hayrah insan (ketakjuban seorang manusia), Ibnu Arabi mengatakan demikian, bahwa perbedaan antara hayrah seorang ahlullah (orang-orang Allah) dan ahlinazar (pemilik akal) adalah demikan:

 Ahlnazar (pemilik akal)  mengatakan:  Dalam segala sesuatu ada tanda  yang menunjukan bahwa Dia adalah satu,   namun bagi yang memahami hakikat tajali akan  mengatakan bahwa,  di dalam segala sesuatu  ada ayat yang menunjukkan bahwa segala sesuatu itu adalah Dirinya sendiri (aynuhu).  Tidak ada yang wujud, selain Allah, Allah adalah dirinya sendiri. Tidak dikenal seseorang atau yang hakikat lain selain diri-Nya, itulah seperti yang diucapkan oleh Bayazid : Aku adalah Allah atau subhanî [

 Pernyataan Ibnu Arabi  yang kontrovesial dan memicu kritikan yang keras dari kaum teolog adalah bait-bait di bawah ini yang ditulis dalam Futuhat:
 Maha suci yang menampakan segala sesuatu yang juga diri-Nya. Aku tidak melihat selain diri-Nya  dan telingaku tidak mendengar selain kata-kata-Nya,   wujud segala sesuatu dalam diri-Nya (immanen)  dan setiap orang masih tenggelam dalam mimpinya.

 Wahdat al-wujud dalam Pemikiran Ibnu Arabi adalah  bahwa wujud di alam musyahada (alam dunia) adalah tajali diri-Nya.  Aku merindukan semua alam sebab semuanya dari diri-Nya atau semua alam adalah diri-Nya.

 Syaikh Mahmud Syabistari seorang arif di abad ke-6 mengatakan demikian: “Al-Haq  yang mulia tidak memiliki dualitas.   Di dalam wujud, tidak ada kami dan  aku. Di sana kami dan engkau adalah satu. Dalam wahdat tidak ada tamyiz (distingsi);  tidak ada perbedaan (differentiation);  (yang ada adalah) kemanunggalan antara Wajah al-Baqi (yang Abadi) dan ghaeru halik (tidak binasa); kemanunggalan sair (lintasan), salik (pejalan) dan suluk (perjalanan).

 Imam Ghazali mengatakan bahwa para urafa  melesakkan dirinya terbang dari batasan-batasan metaforis ke puncak hakikat  dan menyempurnakan dirinya dalam mikraj dengan melihat hakikat diri-Nya. Di istana eksistensi tidak ada yang real selain Tuhan. Segala sesuatu binasa (fana) di dalam diri-Nya,  tidak hanya dalam satu fase zaman bahkan di awal (azali) di tahap akhir (abadi).  Segala sesuatu memiliki dua wajah, satu wajah mengarah pada dirinya dan satu wajah lagi menuju tuhannya. Wajah yang pertama di lihat dari perspektif yang real adalah ketiadaan (‘adam)  dan yang lain adalah keberadaan (wujud).

 Pada akhirnya, tidak ada yang wujud selain tuhan.  Kullu Syaii halikun  illa wajhahu; Segala sesuatu fana di dalam diri-Nya yang azali dan abadi.

 Lantaran itu, para urafa tidak lagi menanti-nanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan liman al-mulk yawma lilahil wahidil qahhar   (Siapakah yang memiliki  kerajaan hari ini? Untuk Allah yang Maha Esa dan Mahakuasa) Semuanya adalah milik Allah yang Mahatunggal dan Yang Mahaberkuasa. Lisan mereka senantiasa basah dengan ucapan-ucapan seperti  itu hingga hari kiamat.

 Mereka tidak menafsirkan Allah Akbar dengan Allah Yang Mahabesar dari yang lain, sebab tidak ada tempat bagi yang lain. Non tuhan sampai kapanpun tidak akan meraih martabat dan sederetan dengan al-Hak (the Truth).

 Untuk diingat bahwa terma ashalatu wujud  (kehakikan wujud) tidak tercatat di dalam tulisan-tulisan Ibnu Arabi. Istilah-istilah ashalatul wujud di zamannya masih belum populer. Istilah itu dipopulerkan para pensyarah karya-karya Ibnu Arabi (baca: Mulla Shadra).

Argumen-argumen Wahdatul Wujud
Arif dan filosof sekaliber Mulla Shadra  dan yang lainnya menyampaikan argumen-argumen filsafat untuk membela wahdat al-wujud lewat kaidah ashalatul wujud dan musytarak maknawi (ekuivokal).
Dalam teori isytirak maknawi yang wujud itu adalah hakikat yang tunggal, esa,  sebab tidak mungkin kata tunggal diabstraksikan (intiza’) dari hakikat yang berbeda-beda satu sama lain (jadi harus satu hakikat). Kaidah ‘basithul hakikat kulla asyya’ (the simplicity of everything) simplisitas atau ketidaktersusunan hakikat segala sesuatu.
Dzat yang basith  (simple, tunggal)  jika tidak meliputi segala sesuatu  akan tersusun dari beberapa elemen (tarkibi)  baik ia bersifat material atau non-material;   jadi wujud mutlak adalah kesempurnaan (kamal) segala sesuatu  dengan modus inbisâth (mengalir dalam yang lain).[6]

Argumen-argumen  yang anti terhadap Doktrin Wahdatul Wujud
 Sebagian fukaha dan teolog  baik dari mazhab Syiah atau Sunni  atau Kristen mengkritik doktrin tersebut , bahkan sebagian mengkafirkan para pendukung doktrin ini.  Karena bertentangan dengan keyakinan mainstream umat Islam. Seperti dengan kalimat la ilaha illah,  yaitu syiar islam yang pertama.
 Syiar para pembela wahdatul wujud adalah : La wujud illa Allah, yaitu bahwa segala yang ada baik itu berhala  atau sembahan lain juga adalah  Tuhan. Sementara kalimat la ila illah mengatakan bahwa selain tuhan seperti berhala dsb tidak boleh disembah. Sembahan-sembahan lain tidak layak dijadikan tuhan.
 Mereka juga menyerang doktrin para urafa yaitu  ‘Maha suci Allah  yang bertajali dalam segala sesuatu dan itu juga adalah hakikat diri-Nya.’  Karena dengan pernyataan tersebut menurut mereka  berarti menyamakan Tuhan dengan benda-benda yang kotor dan najis, dan kata-kata ini jelas bentuk  lain dari kekafiran.
 Tentu saja para urafa juga dalam hal ini memiliki kekurangan yaitu  tidak fasih dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin utama mereka  atau mungkin saja para pengkritiknya  tidak bisa memahami dengan tepat terhadap maksud mereka. Dari sinilah timbul polemik  yang melahirkan trend  permusuhan terhadap para urafa termasuk Ibnu Arabi .

 Teori wahdat al-wujud adalah teori  yang komplek, tidak sederhana  dan tidak mudah dicerna secara sambil lalu dan tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk bisa menjelaskan hal ini secara benderang.
 Namun, di tangan Mulla Shadra doktrin ini bisa diuraikan dengan begitu ilmiah.  Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menguraian secara rasional  sekaligus memetakan kesalahfahaman atas doktrin tersebut.
 Ia menjelaskan tentang konsep saryan (flux, mengalir terus-menerus) wujud  dalam wujud yang muta’ayyin (entified) dan wujud spesifik sebagai berikut:

 “Ketahuilah bahwa segala sesuatu dalam dalam realitasnya terdiri dari beberapa tingkatan.
 Tingkatan pertama,  yaitu wujud yang  mutlak , tidak terikat, tidak terkondisikan, dan tidak memiliki batasan-batasan dengan batasan apapun (infinite);   Yang disebut sebagai huwiyah gaybah  atau gaib mutlak; Dzat Ahadiyah, pada tingkatan ini tidak ada nama dan tidak ada sifat.  Dan tidak ada akses makrifat  ke atas-Nya.

 Tingkatan kedua,  yaitu wujud yang memiliki relasi dengan yang lain yang diistilahkan dengan wujud muqayyad; yang memiliki hukum-hukum, tipologi, yaitu wujud-wujud intelek, nufus (souls),  aflak (celelstial body),  unsur-unsur dan tarkib-tarkib,  seperti insan, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dan entitas-entitas lainnya.

 Tingkatan ketiga, yaitu  wujud munbasith yang memiliki kemutlakan tapi tidak seperti  keumuman kulli (universal), namun  dalam format  lain, karena wujudnya  adalah tahasul (proses/peraihan)  dan potensi,  maka  ia termasuk kulli thabi’i  (universal natural) atau kuli ‘aqli (universal rasional). Statusnya masih mubham (samar). Untuk memperoleh status wujudnya ia memerlukan elemen yang lain.

 Unitas wujud munbasith tidak  dalam bentuk bilangan sebab wujud munbasith adalah hakikat yang satu;  yang (ekstended/mumtad/mengalir) pada entitas-entitas kontingen, Hakikat ini adalah asal dunia, falak kehidupan, Arsy ar-Rahmanal-Haq makhluk bihi atau hakikat al-haqâiq dalam lisan para sufi.[7]
 Dengan  analisa di atas,  jadi yang dimaksud dengan al-Haqwajibul wujud (Wujud Wajib) dalam bahasa para urafa  yaitu wujud  di tingkatan pertama; yaitu hakikat bi syarti  la syai’ (hakikat yang tidak disyaratkan dengan apapun/Hakikat mutlak) sebab kalau bukan pada tingkatan pertama bisa melahirkan tuduhan-tuduhan yang kontroversial dan memang sesat bagi mazhab mana saja yang memiliki prinsip demikian  dan dianggap sedang mempromosikan keyakinan panteisme (hulul).

 Mulla Shadra di dalam bab Wahmun wa Tanbih,  mengatakan  ada sebagian orang yang mengaku-aku sebagai sufi, namun mereka tidak mengikuti manhaz para arifin dan mereka juga tidak mencapai maqam para urafa. Lantaran  tidak memiliki  kapasitas untuk mencerap bahasa para urafa  selain itu pikiran mereka sering dikuasai oleh waham.

 Mereka menuding bahwa Dzat ahadiyah  yang dalam tafsir para urafa dilekatkan pada  Dzat maqam Ahadiyah, gaybul guyub, gaybul huwiyat  sebagai  yang kosong dari  manifestasi dan tidak memiliki realitas aktual (bil fi’l). Tapi hanya terealisasir dalam sebuah form (shurah)  dan quwwa ruhaniyah wa hissi (kualitas ruhaniyah  dan fisik). Dan Allah adalah adalah Zahid Majmu’ (substansi yang terdiri dari beberapa elemen)  dan itu adalah representasi dari insan kabir (kosmos)  dan kitab mubin yang kemudian terwadahi dalam citra insan shagir (manusia).

 Tudingan ini merupakan klaim-klaim kekufuran   dan zindiq.  Seseorang yang memiliki kecerdasan sedikit saja tidak akan mengungkapan perkataan kata seperti ini. Dan penisbatan pemahaman seperti terhadap para sufi agung dalah sebuah pelecehan intelektual , sebab hati dan pikiran mereka bersih dari keyakinan-keyakinan seperti itu.

 Sangatlah mungkin kalau aktor di balik yang melontarkan tuduhan-tuduhan seperti itu adalah orang-orang jahil dalam menisbatkan wujud mutlak. Sebab wujud kadang-kadang  mengacu pada wujud mutlak, wujud syamil  atau terhadap  konsep-konsep umum yang abstrak.

 Salah satu kitab yang ditulis untuk menyerang kaum urafa adalah kitab ‘Masra tasawwuf  yang ditulis Burhanudduin Baqai (888-809). Kitab itu mengandug sejumlah kesalahan interpretasi atas ucapan kaum sufi :
 Syaikh Zaynuddin  Abdurrahim bin Al-Husain Iraki yang disebut oleh baqai sebagi  syaikh syuyukh (gurunya para guru); Imam Qurwah; Syaikh Islam, penjaga zamanya menyampaikan komentarnya tentang Ibnu Arabi ;
 “Ini adalah keyakinan yang menentang Allah dan rasul-Nya dan semua (keyakinan)  mayoritas kaum Muslimin; Mereka adalah yang hanya menjustifikan keyakinan kaum sufi dan lebih percaya mereka adalah yang paling memiliki makrifat tentang Tuhan. Mereka mendefiniskan bahwa sufi adalah  orang yang meliha tuhan di mana saja  dan bahwa semuanya adalah Tuhan itu sendiri. Tidak diragukan lagi ini adalah sebuah bentuk kemusyrikan  dan lebih buruk dari penyimpangan kaum Nasrani dan Yahudi, sebabnya  orang Yahudi dan Nasrani  hanya mempersekutukan tuhan dengan hamba-hamba yang paling dekat dengan Allah, sementara Ibnu Arabi  mempersekutukan Tuhan dengan kambing, dengan berhala dan bahkan dari kata-kata mereka dapat ditafsirkan bahwa tuhan adalah anjing dan babi  dan bahkan juga barang-barang yang kotor. Salah seorang ahli ilmu dan ahli tsiqat menukil kepada saya  ia perna melihat komunitas seperti ini di sekitar perbatasan  Iskandariyah. Mereka berkata kepadanya bahwa tuhan adalah segala sesuatu. Ketika itu seekor keledai melewati tempat tersebut saya bertanya apakah keledai juga tuhan?  Meraka mengiyakan dan lalu kata saya bagaimana dengan kotoran apakah itu juga tuhan dan ternyata mereka mengiyakan juga.”
 Di belahan dunia Barat juga banyak tuduhan-tuduhan yang negatif terhadap kaum mistikus akibat kesalahan  mereka dalam menyelami konsep wahdatul wujud

 Doktor Barens seorang pendeta dari Birmingham mengatakan, “Menurut saya semua konsep tentang wahdat al-wujud harus ditolak. Sebab jika manusia adalah Tuhan manusia, maka semua kotoran dan najis yang ada di tubuhnya juga adalah Tuhan.

 Stace salah seorang teolog kristen mengatakan bahwa ada tiga hal yang mendorong orang-orang beragama tidak menyukai konsep wahdat al-wujud yaitu, Pertama, Monoteism,  sementara wahdat al-wujud dalam pandangan para ilmuwan Barat percaya dengan satu yang tidak distingtif (gairu mutasyakhish). Kedua, yaitu kritikan atas doktrin ini sebab  memandang selain tuhan juga memiliki sifat-sifat ketuhanan dan konsekuensinya  maka syarr (keburukan) juga adalah tuhan dalam pandangan mereka. Ketiga, dalam setiap jantung agama terselip perasaaan akan keagungan (Majesty of) Tuhan dan perasaan ini akan lenyap dalam pandangan wahdat al-wujud seperti yang dikatakan oleh Rudolf Otto tentang rahasia dari keagungan yang mencengkram. Status manusia sesungguhnya tidak memilik apa-apa. Di sisi Tuhan manusia identik dengan ketiadaan. Dengan semua kelemahan manusia seperti itu alangkah tidak pantasnya mengklaim menyatu dengan Tuhannya (wahdatul wujud). Klaim-klaim kesatuan tuhan dengan makluk-Nya adalah kekafiran sebab mengasumsikan tidak ada jarak lagi antara  Tuhan,  manusia dan semesta.

 Dengan demikian, maka tidaklah menakjubkan  kalau komunitas masyarakat teolog dan juga para fukaha (juris)  Islam dan juga dari kalangan agama lain dengan keras menentang teori wahdat al-wujud. Dengan  jelas bahwa lantaran konsep itu tidak mudah dicerna  selain itu juga pemaparan yang keliru dari para psudo sufism (sufi gadungan) yang semakin mengaburkan konsep yang sebenarnya.
 Namun,alangkah baiknya bagi mereka yang memang tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang konsep tersebut, menahan diri  untuk tidak mengeluarkan komentar-komentar di depan publik dan mereka yang tidak bisa menangkap ucapan-ucapan para urafa sebaiknya juga tidak begitu mudah menyematkan label-label kafir kepada mereka.    Alangkah jujurnya jika menyatakan bahwa mereka seharusnya memilih diam karena belum bisa memahami  dengan jelas kata-kata kaum sufi.


[1] Ibnu Arabi, Fushus al-Hikam, hal. 164.
[2] Ibid, juz 1:272
[3] Ibid, juz 2:459
[4] Syaikh Mahmud Syabastari,  Gulistan Râz.
[5] Muhammad Gazali, Misykat al-Anwâr :150-152
[6] Mulla Shadra, Al-Asfar al-Arba’ah, juz 2: 327.
[7] Shadru Muta’alihin, al-Asfar al-Arba’ah, jil. 2 hal 327-330.
[8] Bertand Rusell, Ilmu wa Mazhab hal 127
[9].  Bertand Russel, Ilmu wa Mazhab hal 127 nukilan dari kitab Falsafah wa irfan
[10]. ‘Irfan wa Falsafe, hal. 256, nukilan dari Sayid Yahya Yatsribi,  Falsafeh-ye Irfan, hal. 173.

No comments:

CROWN D'RAJA PERTUBUHAN MQTK QuranSunnahIslam..

........free counters ..............................................................................“and I have come to you with a SIGN FROM YOUR LORD, so fear Allah and OBEY ME! Truly Allah is my Lord and your Lord. Therefore submit to HIM! This is A STRAIGHT PATH" (maryam 19:36)