Showing posts with label Tariqat/Tasauf. Show all posts
Showing posts with label Tariqat/Tasauf. Show all posts

Wednesday, October 26, 2011

Ruh, Qalb, Aql dan Nafs

Pengertian Ruh, Qalb, Aql dan Nafs
Menurut al-Ghazali istilah Ruh, Qalb, Aql dan Nafs sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non fisik. hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena penjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh. darah ini pula yang membawa kehidupan. oleh karena itu nabi saw bersabda:

الآ ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله الآ وهى القلب.
”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah, gumpalan daging itu adalah jantung (Qalb).”

Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau Qalb itu diartikan dengan hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Lalu muncul hati yang bisa sedih, suka menangis, atau suka tersinggung. Berikutnya dijelaskan bahwa hati kita inilah yang menentukank seluruh kepribadian kita. kalau hati kita bersih, akan bersihlah seluruh akhlak kita. Yang ini bukan hati dalam pengertian fisik, akan tetapi hati dalam pengertian ruhani. Oleh karena itu Kata Al-Ghazali, ada makna hati yang kedua: Lathifah rabbaniyah ruhaniyyah. (sesuatu yang lembut yang berasal dari tuhan dan bersifat ruhaniyah), lathifah itulah yang membuat kita mengetahui atau merasakan sesuatu. kata al-Qur’an, hati itu mengetahui merasakan, juga memahami. jadi hati adalah suatu bagian ruhaniyah yang kerjanya memahami sesuatu itulah Qalb.

Menurut para sufi hati juga merupakan bagian dari diri kita yang dapat menyingkap ilmu-ilmu ghaib, ada riwayat yang menyebutkan bahwa kita mempunyai dua pasang mata: yaitu mata lahir dan mata bathin, jadi hati adalah lathifah yang mempunyai mata untuk bisa melihat atau menembus hal-hal yang ghaib. Dengan hati juga kita dapat melihat tuhan, kata imam Al Ghazali, hati itu hati dapat membawa kita kepada ilmu mukasyafah yakni ilmu yang menyingkapkan hal-hal Gha’ib.

Hal itu erat kaitannya dengan ruh. Ruh juga mempunyai dua arti. ada ruh yang berkaitan dengan tubuh yang erat kaitannya dengan jantung ini, yang beredar bersama peredaran darah. Kalau darah sudah tidak beredar lagi dan jantung kita sudah berhenti ruh itupun tidak ada. Itulah ruh dalam bentuk jasmania yang terikat dengan jasad. Selain itu juga ada ruh dalam arti yang kedua yang ajaibnya definisinya sama dengan hati, yaitu lathifah Rubbaniyah Ruhaniyan Wal hasil secara abstrak atau maknawi ruh sama dengan hati. Ruh itulah yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan. Orang barat mungkin menyebutnya mind, kita menyebutnya jiwa.
Selanjutnya adalah persoalan hati. Menurut Al-Ghazali yang menjadi perhatian kita bukanlah hati fisik, biarlah itu menjadi urusan dokter saja, yang menjadi urusan kita adalah lathifah rabbaniyah ruhaniyah adalah suatu yang sangat lembut. Tuhan juga disebut dengan Al -latif (yang maha lembut). lahtifah berarti juga lutf yang artinya anugrah. Jadi Al latif berarti dzat yang memberi anugrah.

Berikutnya adalah Akal. Ia juga memiliki dua nama. ada akal sebagai ilmu tentang sesuatu sehingga orang yang berakal adalah orang yang mengetahui ilmu tentang sesuatu, dalam makna ini, akal sama dengan ilmu. selain itu akal juga berarti sesuatu di dalam diri kita menjadi yang menjadi alat untuk memperoleh ilmu. jadi akal bisa disebut sebagai ilmu itu sendiri, dan bisa juga sebagai alat untuk memperoleh ilmu. hal itu berarti sama artinya dengan hati, latifah rubbaniyah ruhaniyah mudrikah alimah arifah. jadi bagian dari kita untuk mengetahui sesuatu disebut akal.

Alhasil ternyata tidak ada perbedaan antara ruh, hati dan akal. ketiganya sama-sama merupakan sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaiatan dengan jasmani. Orang dapat merasakan pedih tampa mengalami gangguan fisik, sedikitpun. tubuhnya normal tetapi mengalami kepedihan yang luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasalan sakit di tubuh kita sebetulnya bukan tubuh, akan tetapi ruh. Dalam dunia yang tidak modern juga, orang orang mengetahui bahwa kalau seseorang tidak mempunyai ruh, ia tidak akan merasakan sakit apapun, meski tubuhnya di kerat-kerat. Hal ini membuktikan bahwa yang merasakan sakit bukan tubuh kita, tetapi ruh kita atau qalb atau akal-dalam definisi lathif sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaitan dengan jasmani. Orang bisa merasa sangat pedih tampa mengalami gangguan fisik sedikitpun. Tubuhnya normal tetapi ia mengalami kepedihan yng luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasakan adalah lathifah rabbaniyah ruhiyyah.
Orang-orang modern mencoba membuktikan hal ini dengan hipnotis. Misalnya seseorang menghipnotis anda dan menyuruh anda tidur. Kemudian ia memberikan posthypnotic suggestion (sugesti pasca hipnotis) kepada anda, sehingga ketika bangun dari tidur, anda tidak merasakan apa-apa meskipun tubuh anda dikerat-kerat. meskipun anda sadar, anda tidak merasakan sakit sedikitpun, sebab ruh anda sudah diperintahkan untuk tidak merasakan sakit. Jadi yang merasakan sakit itu bukan tubuh kita, tetapi ruh. Yang mendengar, melihat dan merasa sakit adalah ruh. Jika ruhanda tidak mau merasakan, anda pun tidak akan merasakannya, kalau anda dikejar ular, lalu anda lari dengan cepat sehinggga menginjak pecahan-pecahan kaca, anda tidak akan merasakan sakit setelah anda selamat yakni ketika anda sudah tidak memperhatikan ular lagi, barulah ruh anda akan memperhatikan kaki anda. Semula tidak merasa, kini terasa sakit. Sebab, saat itu ruh sedang memperhatikan pecahan-pecahan kaca bukan ular lagi. Kata Imanuel Kant kalau seseorang mendengar jam, yang mendengar itu bukan telinganya. Telinganya hanya alat saja. Yang mendengar adalah ruh. Ketika sepasang manusia sedang berpacaran, detak jam dinding itu tidak terdengar lagi, begitu pacaran selesai dan mereka merenung sendirian, detak jam itu mulai terdengar oleh mereka.

Berikutnya adalah Nafs, di kalangan ulama, nafs itu bermakna dua. Pertama, nafs dalam arti jelek yakni al-hawa yang di dalamn bahasa Indonesia sering digabungkan menjadi satu, yakni hawa nafsu tugas kita adalah membersihkan hati kita dari nafsu. Hati yang bersih dari nafsu oleh Al-Qur’an disebut dengan qalbun salim, tidak akan digangu setan. Kalau kita salat lalu kita datang kepadanya dengan hati yang dipenuhi oleh makanan setan, dzikir yang kita ucapkan tidak akan dapat mengusir setan, setan akan tetap bertengger di sekitar kita. Begitu kita lengah, ia akan masuk dan bersarang di hati kita memakan makanannya, yang di antaranya adalah al-hawa tersebut.

Diceritakan bahwa sesuatu ketika setan datang kepada Ibn Al A‎Hjjaj dan berkata, ia tidak menemukan makananya di dalam diri orang-orang salih. Ia kekurangan makanan karena orang mukmin yang slaih itu menghancurkan hawa nafsunya.

Kedua, nafs yang berarti manusia secara keseluruhan. Hakikat diri kita itu adalah nafs kita, ego atau diri kita. Dalam Al-qur’an, pengertian nafs bermacam-macam. Paling tidak ada tiga: (1) nafs ammarah, (2) nafs lawwamah, dan (3) nafs muthma’innah.
Ammarah berasal dari kata amara. Dalam surat yusuf disebutkan:
“Sesungguhnya nafsu itu menyuruh (ammaratun ) berbuat jelek’ (12: 53)

Ammarah artinya yang memerintahkan yang mendesahkan, atau yang mengajak. Nafsu ini merupakan nafsu dalam tingkatan yang paling rendah, nafsu yang masiih suka menyuruh orang mengikuti hawa nafsunya yang tunduk kepada ghadab dan syahwat serta sifat-sifat kebinatanganya.
Nafsu yang kebih tinggi adalah nafsu lawwamah. Jika seseorang mengetahui dirinya selalu mengikuti nafsunya, lalu ia menyesali dan mengadili dosa-dosanya, itulah yang disebut nafsu lawwamah Allah bersumpah dengan macam pengadilan:

“Aku bersumpah dengan hari kiamat dan aku bersumpah dengan nafsu lawamah”, (75: 1-2).

Kata Murthadha Muttahhari, ada tiga macam pengadilan, berurutan dari yang paling tidak adil hingga yang paling adil. Pengadilan yang paling tidak adil adalah pengadilan di dunia. Mungkin pengadilan di dunia ini merupakan pengadilan yang paling banyak tidak adilnya. Sebab di sini keadilan diukur dengan seberapa kuat atau lemahnya seseorang. Lalu ada pengadilan yang agak adil, yakni pengadilan hati nurani, yang disebut nafsu lawwamah. Diri kita menjadi hakim yang mengadili, yang membuat kita gelisah. Di situ tidak bisa lagi berbohong. Akan tetapi nafsu Lawwamah ini hanya bisa mengecam saja. Ia tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada pengadilan yang paling adil, yaitu pengadilan hari kiamat. Di situ orang tidak bisa bersdusta dan tidak bisa menghindar lagi. Di situ juga akan ditetapkan hukuman yang seadil adilnya. Tidak ada satupun orang yang luput dari pengadilan tuhan. Itulah pertama kali Allah bersumpah dengan hari kiamat.

Yang terakhir, yakni diri yang paling tinggi adalah diri sesudah tunduk kepada kehendak Allah, yang sudah meninggakan hawa nafsunya. Diri itulah yang kelak ketika kembali kepada tuhan hanya akan disapa dengan penuh kemesraan:
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kamu kepada tuhanmu dengan perasaan rela dan direlakan ( 89: 27-28)

Nafsu muthmainnah adalah orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.
F. Hadist -hadits tentang Hati
Qalb mempunyai dua makna: Qalb dalam bentuk fisik dan qalb dalam bentuk ruh. Dalam arti fisik, Qalb dapat kita terjemahkan sebagai “jantung”. Dalam hubungan inilah Nabi Saw. bersabda, “Di antara tubuh itu ada mudghah, ada suatu daging; yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah mudghah itu adalah qalb.”
Orang sering menerjemahakan qalb disini sebagai “hati”, sehingga mereka berkata, “Kalau hati kita ini bersih maka seluruh tubuh kita bersih.” Padahal sebenarnya yang dimaksud disini adalah hati dalam bentuk jasmani. Karena Nabi Saw. menyebutnya segumpal daging.

Ada seorang penulis Mesir yang menulis sebuah buku tentang kedokteran islam. Dia merujuk hadis ini untuk menunjukan peran jantung dalam seluruh mekanisme tubuh kita. Bagaimana kalau tubuh kita mengalami gangguan? Apakah yang akan segera terjadi pada bagian tubuh yang lain. Dan bagaimana pula kalau jantung kita ini baik, maka apakah yang akan terjadi pada seluruh bagian tubuh ini?

Itulah yang dimaksud oleh Rasululah bahwa di dalam tubuh kita ada segumpal daging yang apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Dan segumpal daging itu adalah al-qalb, jantung dalam bentuk fisik.

Ada juga qalb dalam arti kekuatan ruhaniah yang mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami, mempersepsi dan mencerapi. Misalnya perasaan sedih dan gembira.yang berpikir dan yang merenungkan itu kekuatan batin yang disebut qalb. Dan ini dalam bahasa indonesia disebut hati. Sehingga kalau ada sebutan, “Hatinya hancur,” maka yang dimaksud bukan jantungnya hancur tetapi ada bagian jiwa orang itu yang hancur.

Ketika Nabi mengatakan, ”Ada segumpal daging dalam tubuh,” Nabi juga melambangkan peran hati dalam kesehatan jiwa. Sebagaimana jantung memegang peranan penting dalam kesehatan tubu, maka begitu pula hati. Ia memegang peranan amat penting dalam kesehatan ruhani kita. Kalau hati kita rusak, maka seluruh ruhani kita rusak; dan kalau hati kita baik, seluruh ruhani kita baik.

Banyak hadits nabi yang membicarakan qalb ini. Di antaranya, Rasulullah Saw. mengatakan bahwa “Qalb ini karena sifat berubah-ubahnya bagaikan selembar bulu dipadang pasir yang bergantung pada akar pepohonan kemudian dibolak-balik oleh angin dari atas kebawah “

Ketika Rasulullah menggambarkan hati itu seperti selembar bulu yang tergantung di atas pohon yang ditiup angin, beliau mengingatkan kita agar berhati-hati menghadapi perubahan itu. Karena itu, ada do’a yang diajarkan Nabi untuk mengokohkan hati, yaitu “Teguhkanlah hatiku dalam agama-mu”.
Dalam pertanggung jawaban yang berkaitan dengan amal manusia, Allah menghukum bukan hanya amal lahiriyah dalam bentuk perbuatan yang jelek tetapi juga niat yang jelek yang tersembunyi dalam hati. Al-Qur’an mengatakan: Allah mennghukum kamu dengan apa yang dilakukan oleh hati kamu (QS 2:225).
Dalam ayat lain disebutkan

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.:
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati kamu akan dimintai pertanggungjawaban (17:36)

Jadi, jangan mengira kalau kita punya niat yang jelek itu tidak dimintai pertanggungjawaban. Itu juga dihukum.
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan”. ( 2:27)

Jadi, termasuk niat yang ada dalam hati pun akan di hitung Allah Swt Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan niat itu.

Dalam suatu perjalanan yang panjang dengan udara yang panas, para sahabat kelelahan. Waktu itu Rasulullah mengatakan, “Ada orang yang tinggal di Madinah dan tidak ikut berangkat dengan kita tetapi ia mendapatkan ganjaran seperti ganjaran amal yang sedang kita laksanakan”. Ketika para sahabat bertanya,:”Mengapa?” Rasulullah menjawab, “Karena dia telah berniat pergi bersama kita, tetapi karena uzur yang tidak dapat ditolak, dia tidak bisa berangkat bersama kita, dan Allah membalas mereka semua dengan niatnya.”
Bila ada laki-laki menikah dengan mahar yang tidak dibayar kontan, sedangkan ia berniat dalam hati untuk tidak membayarnya, maka Allah menghitung laki-laki tersebut berzina. Kalau ada orang meminjam uang kemudian dalam hatinya ada niat tidak mau membayar, Allah menghitungnya sebagai pencuri. Dari sini Allah menghukum seseorang berdasarkan niat yang bergetar didalam hati, karena niat itu letaknya di dalam hati.
Marilah kita melihat apa peranan hati didalam ruhani kita menurut beberapa riwayat : Rasulullah Saw. bersabda : “Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara. Apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu rusak, maka rusaklah seluruh bala tentaranya”.

Imam Ja’far Ash-shadiq juga mengatakan, “Sesungguhnya posisi qalb sama seperti pemimpin ditengah-tengah manusia.” Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya Allah punya wadah dibumi dan wadah itu adalah hati. Maka sesungguhnya hati yang dicintai oleh Allah adalah hati yang lembut, yang bersih dan yang kokoh.” Kemudian Nabi melanjutkan, “Yang paling lembut adalah yang lembut terhadap sesama saudaranya, dan yang bersih adalah yang bersih darri dosa-dosa, sedangkan yang kokoh adalah keteguhan seseorang dalam membela agama Allah sedang dia tidak takuk celaan orang yang mencelanya”

Dalam riwayat lain, nabi SAW bersabda, “Allah tidak melihat tubuh tubuh kamu, Allah tidak melihat harta- harta kamu tetapi Allah melihat hati dan amal amal kamu.” Disebutkan dalam hadits yang lain, “Hati ada tiga macam. Pertama, hati yang terbalik, yaitu hati yang tidak bisa menampung kebaikan sedikitpun dan itu adalah hati orang kafir.

Kedua, hati yang di dalamnya ada titik hitam, yang di dalamnya bertarung antara kebaikan dan kejahatan. kalau salah satu kuat, maka yang kuat itulah yang menang.
Ketiga hati yang terbuka yang di dalamnya ada lamppu yang bersinar sinar sampai hari kiamat. itu hati orang mukmin. Kami jadikan baginya cahaya, yang dengan cahaya itu dia berjalan di tengah tengah ummat manusia ( 6:122).”

Imam Ali mengatakan: “Hati yang paling baik adalah hati yang paling bisa menyimpan kebaikan.”
1. Perubahan hati
Qolb adalah masdar dari qalaba, artinya membalikan, mengubah, mengganti. Kata kerja intransitif dari qalaba adalah taqallaba, artinya bolak-balik, berganti-ganti, berubah-rubah.”Summiya al-qalb li taqallubih‎” ‘disebut qalb karena berubah-rubahnya.’ Imam ja’far Ash-Shadiq menyebutkan hati itu ada empat.
a. Hati yang tinggi
Tingginya hati ini ketika zikir kepada Allah Swt. Kalau orang senantiasa berzikir kepada Allah hatinya akan naik ke tempat yang tinggi.
b. Hati yang terbuka
Hati ini diperoleh apabila kita ridha kepeda Allah Swt. Ketiga, hati yang rendah, terjadi ketika kita disibukkan oleh hal-hal yang selain Allah.
c. Hati yang mati atau hati yang berhenti
Hati ini terjadi ketika seseorang melupakan Allah Swt. sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga agar hati kita selalu hidup, maka ingatlah kepada Allah Swt. Dalam salah satu hadis dikatakan, “Kalau hati tidak diisi dengan zikir, maka ia bagaikan bangkai.”
Dalam surat Asy-Syu’ara ayat 87-89 dan Ash-shffat ayat 83-84 di sebutkan hati yang selamat, bersih atau suci qalbun salim. Allah berfirman:

"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka di bangkitkan.(yaitu)di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna.Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS26:87-89).
Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongan (Nuh).(ingatlah)ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci." (37:83-84).

Nabi pernah ditanya tentang apa yang dimaksud qalbun salim ini, kemudian Nabi menjawab, “Itu keyakinan agama yang tidak dicampuri dengan keragu-raguan hawa nafsu.” Mungkin sulit untuk dapat menggambarkan keyakinan itu.Tetapi,ada penelitian yang pernah saya ceritakan dalam buku Islam Alternatif yaitu penelitian Gordon W. Allport. Seperti Anda ketahui, di situ disebutkan ada dua macam cara beragama yaitu intrinsik dan ektrinsik. Mula-mula Alport mengadakan penelitian tentang hubungan orang yang beragama dengan kesehatan jiwanya. Ada anggapan makin beragama orang itu makin sehat jiwanya.yang. Menurut Alport, harus di tentukan dulu adalah tipe orang beragama itu. Kalau beragama itu diukur dengan beberapa banyak datang ke masjid atau ke gereja, keberagamaan tidak menjamin kesehatan jiwa.

Karena sering sekali orang datang ke gereja, dalam penelitian Alport, bukan karena keyakinan tetapi karena hawa nafsu. Mungkin seseorang datang ke gereja ingin memperoleh pasangan, ingin mendapat pengakuan sosial, atau menjalin relasi bisnis.

Agama seringkali dipakai sebagai tempat pelarian.orang lari kepada agama untuk memperkokoh harga dirinya, ada yang karena frustrasi akibat pergumulan hidup. Ia menemukan satu aliran agama yang menawarkan apa yang di carinya. Itu keberagamaan ektrinsik. Bagaimana beragama yang intrinsik. Rosululloh Saw. Menyebutkannya, “Keyakinan yang di masuki hawa nafsu.” Beliau bersabda, “qalb yang selamat adalah keyakinan yang tidak dimasuki keraguan dan hawa nafsu.” Di sini orang yang beramal tanpa berkeinginan untuk pamer dan ingin dipuji.

Allah Swt.berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (13:28).

Dalam ayat itu disebutkan bahwa cara memperoleh ketenteraman hati adalah dengan berzikir kepada Allah, tetapi tidak semua zikir itu menenteramkan hati. Karena itu, syarat zikir yang dapat menenteramkan hati adalah zikir orang yang beriman. Orang yang tidak beriman tidak bisa tenteram dengan zikir. Sebaliknya, orang yang beriman tidak akan tenteram hatinya kecuali dengan zikir kepada Allah.

Karena itu, kalau anda beriman jangan mencari ketenteraman pada kekayaan, kemasyhuran, atau hal-hal duniawi lainnya. Tetapi ketenteraman itu hanya di peroleh dengan zikir kepada Allah.
Ketenteraman ada kaitannya dengan keimanan seperti dijelaskan dalam surat Al-Fath ayat 4:;
“Dialah yang telah menurunkan ketenteraman ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)…" ( 48:4).

Allah menurunkan ketenteraman kepada hati orang yang beriman. Ketenteraman hati itu tampak dari gejala fisik mereka. Ada orang yang bertingkahlaku qurani dan ada pula manusia yang bertingkah laku syaithani. Orang yang tenteram menunjukan perilaku qurani.

Di Iran sesudah revolusi, ada banyak ulama yang mati ketika menyampaikan khutbah. Orang yang mati itu dinamakan syahid mimbar. Pada suatu waktu ketika khatib menyampaikan khutbah di sekitar mimbar meledak sebuah bom. Beberapa orang terpental. Kebetulan khutbah itu direkam dalam televisi, sehingga dapat disaksikan ulang. Termasuk tingkah laku khatib. Anehnya, khatib itu tenang saja, tidak memiliki rasa takut sedikitpun, seperti terlihat dari raut wajahnya. Beliau hanya memalingkan mukanya sedikit untuk menghindari seburan debu dari arah ledakan tadi. Setelah selesai ledakan, khatib melanjutkan khutbah lagi. Inilah contoh tingkah laku yang qurani, yang tumbuh dari zikir kepada Allah.

Ada tingkah laku lain. Segera setelah imam Khomaeni meninggal dunia, Salman Rusdie ditanyai oleh seorang wartawan surat kabar, “Apakah rasa takut anda tenang hukuman mati dari khomaeni ini dilebih-lebihkan orang? “Dia menjawab, ”ya.” Artinya,ungkapan Salman Rushdie itu dilebih-lebihkan orang. Ia sebetulnya tidak takut sama sekali. Tetapi begitu Salman Rushdie mengucapkan jawaban, ”ya,” di luar Gedung ada sebuah mobil naik ke trotoar dan kebetulan knalpotnya meledakkan letupan seperti tembakan.Waktu itu tubuh Salman Rushdie menggetar ketakutan. Wartawan yang menyaksikan itu mengatakan, “Ini menunjukan seluruh kehidupan Salman rushdie dipenuhi oleh rasa takut yang berkepanjangan.”

Saya menceritakan dua peristiwa ini untuk menunjukan tentang adanya dua macam tingkah laku itu. Yaitu tingkah laku yang dipenuhi oleh zikir kepada Allah dan tingkah laku yang di penuhi dengan rasa was-was.
Contoh lain, Abul A’la A-Maududi berkhutbah. Pada waktu khutbah ada sebuah tembakan diarahkan ke wajahnya. Semua jamaah tiarap menghindar dari tembakan itu, tetapi Maududi tetap di mimbar. Orang menyuruh beliau bertiarap tetapi Maududi menjawab, “Kalau aku ikut turun, siapa lagi yang akan berkhutbah di sini.”

Hati itu adalah ibarat bejana, selama bejana itu dipenuhi dengan air, maka udara tidak akan bisa masuk. begitu juga hati yang disibiukan dengan hal-hal selain Allah, maka tidak akan dapat masuk kedalam hati tersebut perasaan ma’rifat akan keagungan Allah ta’la. maka untuk menyibukan hati tersebut kita perlu memenejnya dengan penuh ketelitian sehingga sesuatu yang datang dari luar yang sifatnya akan menghancurkan hati kita akan tertolak dengan sendirinya.

Apabila syeitan-syeitan itu tidak mengerubungi hati anak adam, niscaya mereka memandang ke alam malakut yang ada di langit.
2. Manajemen Qalbu
Manajemen Qalbu berarti memenej Qalbu yang merupakan tempat bersemayamnya niat, yakni menentukan apakah perbuatan seseorang berharga atau sia-sia, mulia atau nista. Niat itu selamanya diproses oleh akal pikiran agar bisa direalisasikan dengan efektif dan efisien oleh jasad kita dalam bentuk perbuatan. Setiap keinginan, perasaan atau dorongan apapun yang keluar dari dalam diri akan terasing niatnya hingga melahirkan suatu kebaikan dan kemuliaan serta penuh manfaat, dan dapat merespon segala bentuk aksi, apakah itu perbuatan baik atau buruk secara proporsional.10
Respon yang terkelola dengan sangat baik akan membuat reaksi yang dikeluarkan adalah kemuliaan dan kemanfaatan. Dengan kata lain, aktivitas lahir dan pikirannya telah tersaing sedemikian rupa oleh proses manajemen Qalbu. Maka yang muncul hanyalah sikap yang pemuh kemuliaan dengan pertimbangan nurani yang tulus. Intinya orang yang mengamalkan manjemen Qalbu adalah orang yang sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi ataupun kehadiran menjadi sesuatu yang bernilai kemulian dan manfaat yang tinggi bagi dirinya maupun makhluk lainnya.

Pelatihan manajemen Qalbu merupakan pelatihan yang menanamkan sebuah paradigma baru dalam mengarungi kehidupan, yaitu dengan upaya memenej potensi qalbu, di mana peserta akan lebih memahami dan menghayati arti pentingnya nilai-nilai yang hakiki yang perlu dipegang dan diamalkan dalam kehidupana sehari-hari di rumah, pekerjaan maupun dalam lingkungan masyarakat. Dan menjadi orang yang sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi atau kejadian-kejadian menjadi sesuatu yang bernilai kemuliaan dan manfaat yang tinggi bagi dirinya maupun makhluk lainnya.

Tuesday, February 15, 2011

Wahdatul Wujud Tinjauan Filosof Urafa

Doktrin wahdat al-wujud adalah doktrin yang fundamental dalam dunia tasawuf atau irfan (Islamic Mysticism), yang juga menjadi isu yang besar di kalangan para mistikus Islam dan mistikus non-Islam. Dan doktrin ini semakin menemukan bentuknya secara sistematis  dalam irfan Ibnu Arabi.

 Seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya bahwa yang real hanyalah Allah; Yang azali dan abadi;  wujud yang tunggal hanyalah milik Allah. Alam adalah wujud yang tidak mandiri.
 Wujud hakiki, meskipun tunggal tapi memiliki beragam manifestasi. Jadi tidak ada dualitas wujud yaitu antara wujud  Khaliq (pencipta) dan wujud makhluk (yang dicipta), tapi keduanya adalah satu wujud. Dengan kata lain wujud yang Hak itu kadang-kadang termanifestasi dalam wujud  makhluk dengan menurunkan level dirinya dalam level wujud  makhluk.

 Ibnu Arabi menuturkan: Apa yang kita katakan  tentang-Nya  pada hakikatnya adalah berbicara tentang sifat  dan tentang diri-Nya,  sebab eksistensi kita adalah eksistensi diri-Nya. Kita sangat memerlukan diri-Nya agar bisa eksis dan Ia juga memerlukan diri kita untuk melakukan tajali-Nya.

 Dalam pandangan Ibnu Arabi, Allah dan makhluk adalah satu dan satu  sama lain saling membutuhkan,  jadi makhluk adalah dirimu dan sifat al-Hak,   hanya saja wujud hubungan keberadaan terhadap Allah adalah hubungan real (hakiki) dan yang lain hanyalah hubungan metaforis (majazi).
 Dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, di bab hayrah insan (ketakjuban seorang manusia), Ibnu Arabi mengatakan demikian, bahwa perbedaan antara hayrah seorang ahlullah (orang-orang Allah) dan ahlinazar (pemilik akal) adalah demikan:

 Ahlnazar (pemilik akal)  mengatakan:  Dalam segala sesuatu ada tanda  yang menunjukan bahwa Dia adalah satu,   namun bagi yang memahami hakikat tajali akan  mengatakan bahwa,  di dalam segala sesuatu  ada ayat yang menunjukkan bahwa segala sesuatu itu adalah Dirinya sendiri (aynuhu).  Tidak ada yang wujud, selain Allah, Allah adalah dirinya sendiri. Tidak dikenal seseorang atau yang hakikat lain selain diri-Nya, itulah seperti yang diucapkan oleh Bayazid : Aku adalah Allah atau subhanî [

 Pernyataan Ibnu Arabi  yang kontrovesial dan memicu kritikan yang keras dari kaum teolog adalah bait-bait di bawah ini yang ditulis dalam Futuhat:
 Maha suci yang menampakan segala sesuatu yang juga diri-Nya. Aku tidak melihat selain diri-Nya  dan telingaku tidak mendengar selain kata-kata-Nya,   wujud segala sesuatu dalam diri-Nya (immanen)  dan setiap orang masih tenggelam dalam mimpinya.

 Wahdat al-wujud dalam Pemikiran Ibnu Arabi adalah  bahwa wujud di alam musyahada (alam dunia) adalah tajali diri-Nya.  Aku merindukan semua alam sebab semuanya dari diri-Nya atau semua alam adalah diri-Nya.

 Syaikh Mahmud Syabistari seorang arif di abad ke-6 mengatakan demikian: “Al-Haq  yang mulia tidak memiliki dualitas.   Di dalam wujud, tidak ada kami dan  aku. Di sana kami dan engkau adalah satu. Dalam wahdat tidak ada tamyiz (distingsi);  tidak ada perbedaan (differentiation);  (yang ada adalah) kemanunggalan antara Wajah al-Baqi (yang Abadi) dan ghaeru halik (tidak binasa); kemanunggalan sair (lintasan), salik (pejalan) dan suluk (perjalanan).

 Imam Ghazali mengatakan bahwa para urafa  melesakkan dirinya terbang dari batasan-batasan metaforis ke puncak hakikat  dan menyempurnakan dirinya dalam mikraj dengan melihat hakikat diri-Nya. Di istana eksistensi tidak ada yang real selain Tuhan. Segala sesuatu binasa (fana) di dalam diri-Nya,  tidak hanya dalam satu fase zaman bahkan di awal (azali) di tahap akhir (abadi).  Segala sesuatu memiliki dua wajah, satu wajah mengarah pada dirinya dan satu wajah lagi menuju tuhannya. Wajah yang pertama di lihat dari perspektif yang real adalah ketiadaan (‘adam)  dan yang lain adalah keberadaan (wujud).

 Pada akhirnya, tidak ada yang wujud selain tuhan.  Kullu Syaii halikun  illa wajhahu; Segala sesuatu fana di dalam diri-Nya yang azali dan abadi.

 Lantaran itu, para urafa tidak lagi menanti-nanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan liman al-mulk yawma lilahil wahidil qahhar   (Siapakah yang memiliki  kerajaan hari ini? Untuk Allah yang Maha Esa dan Mahakuasa) Semuanya adalah milik Allah yang Mahatunggal dan Yang Mahaberkuasa. Lisan mereka senantiasa basah dengan ucapan-ucapan seperti  itu hingga hari kiamat.

 Mereka tidak menafsirkan Allah Akbar dengan Allah Yang Mahabesar dari yang lain, sebab tidak ada tempat bagi yang lain. Non tuhan sampai kapanpun tidak akan meraih martabat dan sederetan dengan al-Hak (the Truth).

 Untuk diingat bahwa terma ashalatu wujud  (kehakikan wujud) tidak tercatat di dalam tulisan-tulisan Ibnu Arabi. Istilah-istilah ashalatul wujud di zamannya masih belum populer. Istilah itu dipopulerkan para pensyarah karya-karya Ibnu Arabi (baca: Mulla Shadra).

Argumen-argumen Wahdatul Wujud
Arif dan filosof sekaliber Mulla Shadra  dan yang lainnya menyampaikan argumen-argumen filsafat untuk membela wahdat al-wujud lewat kaidah ashalatul wujud dan musytarak maknawi (ekuivokal).
Dalam teori isytirak maknawi yang wujud itu adalah hakikat yang tunggal, esa,  sebab tidak mungkin kata tunggal diabstraksikan (intiza’) dari hakikat yang berbeda-beda satu sama lain (jadi harus satu hakikat). Kaidah ‘basithul hakikat kulla asyya’ (the simplicity of everything) simplisitas atau ketidaktersusunan hakikat segala sesuatu.
Dzat yang basith  (simple, tunggal)  jika tidak meliputi segala sesuatu  akan tersusun dari beberapa elemen (tarkibi)  baik ia bersifat material atau non-material;   jadi wujud mutlak adalah kesempurnaan (kamal) segala sesuatu  dengan modus inbisâth (mengalir dalam yang lain).[6]

Argumen-argumen  yang anti terhadap Doktrin Wahdatul Wujud
 Sebagian fukaha dan teolog  baik dari mazhab Syiah atau Sunni  atau Kristen mengkritik doktrin tersebut , bahkan sebagian mengkafirkan para pendukung doktrin ini.  Karena bertentangan dengan keyakinan mainstream umat Islam. Seperti dengan kalimat la ilaha illah,  yaitu syiar islam yang pertama.
 Syiar para pembela wahdatul wujud adalah : La wujud illa Allah, yaitu bahwa segala yang ada baik itu berhala  atau sembahan lain juga adalah  Tuhan. Sementara kalimat la ila illah mengatakan bahwa selain tuhan seperti berhala dsb tidak boleh disembah. Sembahan-sembahan lain tidak layak dijadikan tuhan.
 Mereka juga menyerang doktrin para urafa yaitu  ‘Maha suci Allah  yang bertajali dalam segala sesuatu dan itu juga adalah hakikat diri-Nya.’  Karena dengan pernyataan tersebut menurut mereka  berarti menyamakan Tuhan dengan benda-benda yang kotor dan najis, dan kata-kata ini jelas bentuk  lain dari kekafiran.
 Tentu saja para urafa juga dalam hal ini memiliki kekurangan yaitu  tidak fasih dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin utama mereka  atau mungkin saja para pengkritiknya  tidak bisa memahami dengan tepat terhadap maksud mereka. Dari sinilah timbul polemik  yang melahirkan trend  permusuhan terhadap para urafa termasuk Ibnu Arabi .

 Teori wahdat al-wujud adalah teori  yang komplek, tidak sederhana  dan tidak mudah dicerna secara sambil lalu dan tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk bisa menjelaskan hal ini secara benderang.
 Namun, di tangan Mulla Shadra doktrin ini bisa diuraikan dengan begitu ilmiah.  Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menguraian secara rasional  sekaligus memetakan kesalahfahaman atas doktrin tersebut.
 Ia menjelaskan tentang konsep saryan (flux, mengalir terus-menerus) wujud  dalam wujud yang muta’ayyin (entified) dan wujud spesifik sebagai berikut:

 “Ketahuilah bahwa segala sesuatu dalam dalam realitasnya terdiri dari beberapa tingkatan.
 Tingkatan pertama,  yaitu wujud yang  mutlak , tidak terikat, tidak terkondisikan, dan tidak memiliki batasan-batasan dengan batasan apapun (infinite);   Yang disebut sebagai huwiyah gaybah  atau gaib mutlak; Dzat Ahadiyah, pada tingkatan ini tidak ada nama dan tidak ada sifat.  Dan tidak ada akses makrifat  ke atas-Nya.

 Tingkatan kedua,  yaitu wujud yang memiliki relasi dengan yang lain yang diistilahkan dengan wujud muqayyad; yang memiliki hukum-hukum, tipologi, yaitu wujud-wujud intelek, nufus (souls),  aflak (celelstial body),  unsur-unsur dan tarkib-tarkib,  seperti insan, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dan entitas-entitas lainnya.

 Tingkatan ketiga, yaitu  wujud munbasith yang memiliki kemutlakan tapi tidak seperti  keumuman kulli (universal), namun  dalam format  lain, karena wujudnya  adalah tahasul (proses/peraihan)  dan potensi,  maka  ia termasuk kulli thabi’i  (universal natural) atau kuli ‘aqli (universal rasional). Statusnya masih mubham (samar). Untuk memperoleh status wujudnya ia memerlukan elemen yang lain.

 Unitas wujud munbasith tidak  dalam bentuk bilangan sebab wujud munbasith adalah hakikat yang satu;  yang (ekstended/mumtad/mengalir) pada entitas-entitas kontingen, Hakikat ini adalah asal dunia, falak kehidupan, Arsy ar-Rahmanal-Haq makhluk bihi atau hakikat al-haqâiq dalam lisan para sufi.[7]
 Dengan  analisa di atas,  jadi yang dimaksud dengan al-Haqwajibul wujud (Wujud Wajib) dalam bahasa para urafa  yaitu wujud  di tingkatan pertama; yaitu hakikat bi syarti  la syai’ (hakikat yang tidak disyaratkan dengan apapun/Hakikat mutlak) sebab kalau bukan pada tingkatan pertama bisa melahirkan tuduhan-tuduhan yang kontroversial dan memang sesat bagi mazhab mana saja yang memiliki prinsip demikian  dan dianggap sedang mempromosikan keyakinan panteisme (hulul).

 Mulla Shadra di dalam bab Wahmun wa Tanbih,  mengatakan  ada sebagian orang yang mengaku-aku sebagai sufi, namun mereka tidak mengikuti manhaz para arifin dan mereka juga tidak mencapai maqam para urafa. Lantaran  tidak memiliki  kapasitas untuk mencerap bahasa para urafa  selain itu pikiran mereka sering dikuasai oleh waham.

 Mereka menuding bahwa Dzat ahadiyah  yang dalam tafsir para urafa dilekatkan pada  Dzat maqam Ahadiyah, gaybul guyub, gaybul huwiyat  sebagai  yang kosong dari  manifestasi dan tidak memiliki realitas aktual (bil fi’l). Tapi hanya terealisasir dalam sebuah form (shurah)  dan quwwa ruhaniyah wa hissi (kualitas ruhaniyah  dan fisik). Dan Allah adalah adalah Zahid Majmu’ (substansi yang terdiri dari beberapa elemen)  dan itu adalah representasi dari insan kabir (kosmos)  dan kitab mubin yang kemudian terwadahi dalam citra insan shagir (manusia).

 Tudingan ini merupakan klaim-klaim kekufuran   dan zindiq.  Seseorang yang memiliki kecerdasan sedikit saja tidak akan mengungkapan perkataan kata seperti ini. Dan penisbatan pemahaman seperti terhadap para sufi agung dalah sebuah pelecehan intelektual , sebab hati dan pikiran mereka bersih dari keyakinan-keyakinan seperti itu.

 Sangatlah mungkin kalau aktor di balik yang melontarkan tuduhan-tuduhan seperti itu adalah orang-orang jahil dalam menisbatkan wujud mutlak. Sebab wujud kadang-kadang  mengacu pada wujud mutlak, wujud syamil  atau terhadap  konsep-konsep umum yang abstrak.

 Salah satu kitab yang ditulis untuk menyerang kaum urafa adalah kitab ‘Masra tasawwuf  yang ditulis Burhanudduin Baqai (888-809). Kitab itu mengandug sejumlah kesalahan interpretasi atas ucapan kaum sufi :
 Syaikh Zaynuddin  Abdurrahim bin Al-Husain Iraki yang disebut oleh baqai sebagi  syaikh syuyukh (gurunya para guru); Imam Qurwah; Syaikh Islam, penjaga zamanya menyampaikan komentarnya tentang Ibnu Arabi ;
 “Ini adalah keyakinan yang menentang Allah dan rasul-Nya dan semua (keyakinan)  mayoritas kaum Muslimin; Mereka adalah yang hanya menjustifikan keyakinan kaum sufi dan lebih percaya mereka adalah yang paling memiliki makrifat tentang Tuhan. Mereka mendefiniskan bahwa sufi adalah  orang yang meliha tuhan di mana saja  dan bahwa semuanya adalah Tuhan itu sendiri. Tidak diragukan lagi ini adalah sebuah bentuk kemusyrikan  dan lebih buruk dari penyimpangan kaum Nasrani dan Yahudi, sebabnya  orang Yahudi dan Nasrani  hanya mempersekutukan tuhan dengan hamba-hamba yang paling dekat dengan Allah, sementara Ibnu Arabi  mempersekutukan Tuhan dengan kambing, dengan berhala dan bahkan dari kata-kata mereka dapat ditafsirkan bahwa tuhan adalah anjing dan babi  dan bahkan juga barang-barang yang kotor. Salah seorang ahli ilmu dan ahli tsiqat menukil kepada saya  ia perna melihat komunitas seperti ini di sekitar perbatasan  Iskandariyah. Mereka berkata kepadanya bahwa tuhan adalah segala sesuatu. Ketika itu seekor keledai melewati tempat tersebut saya bertanya apakah keledai juga tuhan?  Meraka mengiyakan dan lalu kata saya bagaimana dengan kotoran apakah itu juga tuhan dan ternyata mereka mengiyakan juga.”
 Di belahan dunia Barat juga banyak tuduhan-tuduhan yang negatif terhadap kaum mistikus akibat kesalahan  mereka dalam menyelami konsep wahdatul wujud

 Doktor Barens seorang pendeta dari Birmingham mengatakan, “Menurut saya semua konsep tentang wahdat al-wujud harus ditolak. Sebab jika manusia adalah Tuhan manusia, maka semua kotoran dan najis yang ada di tubuhnya juga adalah Tuhan.

 Stace salah seorang teolog kristen mengatakan bahwa ada tiga hal yang mendorong orang-orang beragama tidak menyukai konsep wahdat al-wujud yaitu, Pertama, Monoteism,  sementara wahdat al-wujud dalam pandangan para ilmuwan Barat percaya dengan satu yang tidak distingtif (gairu mutasyakhish). Kedua, yaitu kritikan atas doktrin ini sebab  memandang selain tuhan juga memiliki sifat-sifat ketuhanan dan konsekuensinya  maka syarr (keburukan) juga adalah tuhan dalam pandangan mereka. Ketiga, dalam setiap jantung agama terselip perasaaan akan keagungan (Majesty of) Tuhan dan perasaan ini akan lenyap dalam pandangan wahdat al-wujud seperti yang dikatakan oleh Rudolf Otto tentang rahasia dari keagungan yang mencengkram. Status manusia sesungguhnya tidak memilik apa-apa. Di sisi Tuhan manusia identik dengan ketiadaan. Dengan semua kelemahan manusia seperti itu alangkah tidak pantasnya mengklaim menyatu dengan Tuhannya (wahdatul wujud). Klaim-klaim kesatuan tuhan dengan makluk-Nya adalah kekafiran sebab mengasumsikan tidak ada jarak lagi antara  Tuhan,  manusia dan semesta.

 Dengan demikian, maka tidaklah menakjubkan  kalau komunitas masyarakat teolog dan juga para fukaha (juris)  Islam dan juga dari kalangan agama lain dengan keras menentang teori wahdat al-wujud. Dengan  jelas bahwa lantaran konsep itu tidak mudah dicerna  selain itu juga pemaparan yang keliru dari para psudo sufism (sufi gadungan) yang semakin mengaburkan konsep yang sebenarnya.
 Namun,alangkah baiknya bagi mereka yang memang tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang konsep tersebut, menahan diri  untuk tidak mengeluarkan komentar-komentar di depan publik dan mereka yang tidak bisa menangkap ucapan-ucapan para urafa sebaiknya juga tidak begitu mudah menyematkan label-label kafir kepada mereka.    Alangkah jujurnya jika menyatakan bahwa mereka seharusnya memilih diam karena belum bisa memahami  dengan jelas kata-kata kaum sufi.


[1] Ibnu Arabi, Fushus al-Hikam, hal. 164.
[2] Ibid, juz 1:272
[3] Ibid, juz 2:459
[4] Syaikh Mahmud Syabastari,  Gulistan Râz.
[5] Muhammad Gazali, Misykat al-Anwâr :150-152
[6] Mulla Shadra, Al-Asfar al-Arba’ah, juz 2: 327.
[7] Shadru Muta’alihin, al-Asfar al-Arba’ah, jil. 2 hal 327-330.
[8] Bertand Rusell, Ilmu wa Mazhab hal 127
[9].  Bertand Russel, Ilmu wa Mazhab hal 127 nukilan dari kitab Falsafah wa irfan
[10]. ‘Irfan wa Falsafe, hal. 256, nukilan dari Sayid Yahya Yatsribi,  Falsafeh-ye Irfan, hal. 173.

Barzakh

Barzakh ialah pengantara atau pemisah yang ma'kul(pada anggapan),  yang menceraikan dua perkara.  Barzakh itu tidak dapat diperhatikan dengan deria.   Apabila ada dua perkara bertemu bersama,  maka di situ adanya barzakh.  Barzakh itu bukan daripada Ain atau Zat kedua-dua perkara itu,  tetapi mempunyai tenaga kedua-duannya.
Oleh kerana pengantara ini adalah satu perkara yang memisahkan,
  • "Yang Diketahui" dengan "Yang Tidak Diketahui"
  • Ma'dum dengan Maujud
  • Nafi dengan Isbat
  • Ma'kul dengan Bukan Ma'kul,
maka iannya diistilahkan sebagai Barzakh.
Ianya ada dalam anggapan dan khayalan sahaja.
 
  • Jika anda kaji melalui deria,  anda tahu yang anda mengetahui sesuatu hakikat yang anda telah tahu.
  • Jika anda kaji dengan dalil,  anda akan ketahui itu adalah kosong sahaja.

Apakah yang menyebabkan anda mengisbatkan hakikat-Nya dan di samping itu menafikan pula?  Itulah khayal yang bukan ma'dum dan bukan pula wujud;  bukan "yang diketahui"  dan bukan "yang tidak diketahui";  bukan nafi dan bukan isbat.

Orang yang melihat cermin tahu yang ia melihat bayangannya.  Apabila ia datang dekat cermin itu dan meneliti dirinya dalam cermin itu,  maka ia tahu pula yang ia tidak melihat dirinya di situ.  Jika cermin itu kecil,   ia tahu bayangannya lebih besar dari apa yang dilihatnya.  Jika cermin itu besar,  dilihat bayangannya sangat besar  meskipun ia tahu dengan yakin yang bayangnya lebih kecil dari apa yang dilihatnya.  Dia tidak dapat menafikan yang ia melihat bayangannya sendiri.

Sungguhpun bayangan dalam cermin itu tidak sama besar,  apabila ia berkata bahawa dia melihat bayangannya atau pun ia berkata bahawa dia tidak melihatnya,  ia bukan bercakap benar dan bukan pula bercakap bohong.

Maka apakah itu bayangan yang dilihatnya???
  • Di manakaha ia berada???
  • Bagaimanakah keadaannya???
  • Ianya adalah yang dinafikan dan yang diisbatkan,  ada dan tidak ada,  yang diketahui dan yang tidak diketahui.
Adakah yang mempunyai hakikat kerana ia bukan tidak ada langsung"  Deria melihatnya tetapi ia bukan ada wujud hakiki.  Anda tahu pula ia maujud dan bukan semata-mata kosong sahaja.

Ke dalam hakikat seperti inilahmanusia masuk dalam waktu tidur dan selepas matinya.  Dilihatnya keinginan atau nafsunya berbentuk-bentuk.  Bentuk-bentuk itu bercakap kepadanya,  dan dia pula bercakap-cakap kepada bentuk-bentuk itu seperti bercakap dengan orang-orang yang berjasad.  Orag-orang yang kashaf melihat semasa jaga apa yang dilihat oleh orang-orang yang sedang tidur dan apa yang tleah dilihat oleh orang yang telah mati. Begitu jugalah seseorang itu melihat amalnya ditimbang meskipun amal itu semata-mata kualiti sahaja tanpa berjasad.  Maut atau mati adalah hanya perkara nisbah perceraian selepas Ijtima'.

Apabila Allah memerintah yang mumkin(makhluk) menjadi apa yang telah ditentukan dalam bakat-bakatnya,  maka mereka bergegas untuk melihat apa yang memang sedia wujud;  kerana mereka berbakat untuk melihat sebagaimana juga mereka berbakat untuk mendengar.

Apabila yang mumkin terzhohir,  ianya disinari dengan cahaya.  'Adam hilang lenyap.  Yang mumkin membuka matanya dan melihat kebaikan mutlak yang sedia ada.  Tidak diketahui apakah itu.  Tidak juga dia tahu itulah yang memerintahkan supaya terzhohir.  Tajali Ketuhanan mengurniakan kepada yang mumkim(makhluk) ilmu tentang apa yang dilihat oleh mumkin;  dan bukan ilmu hakiki tentang apa yang memberi kepada mumkin itu wujudnya.

Apabila yang mumkin telah diberi cahaya,  ia pun menghadap ke kiri lalu terlihatlah 'adam.  Ia pun mula memerhatinya.  Ia adalah ibarat bayangan seseorang yang terbit dirinya apabila orang itu disinari cahaya.  Yang mumkin itu bertanya,  Apakah ini?".  Cahaya itu menjawab dari kanan;  "Itulah dirimu!!!".
Jika anda cahaya semata-mata,  tidaklah ada bayangan ini.  Aku ini cahaya semata-mata dan Aku tidak ada bayang-bayang.  Cahaya yang ada dalam diri anda itu adalah kerana sebahagian anda menghala kepada Aku. Anda hendaklah tahu bahawa anda bukan Aku,  kerana Aku ini cahaya tanpa bayang.  Anda itu cahaya bercampur gelap,  kerana sebahagian dari anda menghala kepada Aku,  dan yang satu lagi menghala kepada 'adam.  Oleh itu anda terletak anda wujud dengan adam,  antara baik dengan jahat.  Wujud anda yang mumkin itu dibawa kepada anda oleh kerana anda melihat bayangan anda itu.  Jika anda lari dari cahaya seluruhnya,  lalu terus melihat bayangan anda,  maka anda akan tahu yang ia adalah bayangan kemungkinan anda itu.  Anda anggap itu bayang yang tidak mumkin.  Yang tidak mumkin(mustahil) dan Yang Wajib adalah dua perkara yang berlawanan dalam semua segi.
 
Jika Aku panggil anda,  anda tidak akan menjawab dan anda tidak dengar Aku,  kerana pandangan kepada bayangan anda itu membuat anda pekak untuk mendengar panggilan-Ku. Jangan lihat Aku sebentar,  kerana anda akan kehilangan bayangan anda dan mengatakan diri anda itu sebagai Aku.  Dengan itu anda akan mengatakan diri anda itu sebagai Aku.  Dengan itu anda akan jadi mangsa Kejahilan.  Jangan lihat bayangan anda seketika kerana anda akan kehilangan aku.  Anda itu pekak,  anda akan lupa dengan tujuan anda itu Aku jadikan.  Sekarang jadi ini dan sekejap lagi itu.  Allah jadikan dua mata untuk anda.  Satu untuk melihat aku dan satu lagi untuk melihat bayangan anda.  Demikianlah kami telah terangkan dua jalan;  -  Jalan cahaya dan Jalan bayangan.  Satu,  jalan syukur,  satu lagi jalan kufur.  Sesungguhnya 'adam mustahil itu adalah kegelapan dan 'adam yang mumkin pula adalah bukan kegelapan.  Oleh kerana itulah di dalam bayang ada Kerehatan Wujud.

hakikat ilham, wahyu, mimpi

Sesudah kita mengerti syariat dan tariqat, maka barulah kita dapat mempelajari suatu lapangan ilmu yang boleh dikata pelik bagi kebiasaan umat manusia yang terdapat didalam tasauf iaitu yang dinamakan hakikat, Ilmu untuk mengenal sesuatu dengan sesungguhnya, siapa manusia itu dan siapa yang menjadikannya, demikian juga siapa siapa yang mencipta sekelian itu.

Jadi dimulai dari dunia kecil atau peribadi manusia, berpindah kepada alam yang besar, iaitu dunia dengan segala susunan bulan, matahari dan bintang, dan kemudian manusia itu dibawa berfikir, bagaimana terjadinya semua itu dan siapa Penciptanya. Memasuki lapangan filasafat yang pelik dan penting itu ertinya memasukki mempelajari Ilmu Hakikat dan ma’rifat yang tujuannya untuk mengetahui sesuatu dengan sesungguh-sungguhnya.

Orang tasauf meringkaskan jalan pengetahuan ini dengan ucapan:


Seseorang itu tidak mudah mengenal dirinya, ia lebih mudah mewngenal diri orang lain, kerana beberapa sifat yang terdapat pada manusia menghalangi dia mengetahui, siapa ia dan apa  ia itu.

Pengetahuian dapat membuka kepadanya jalan untuk mencapai maksud rersebut, tetapi tidak selamanya pengetahuan itu dapat membawanya kepada hakikat atau kebenaran. Lalu terjadilah beberapa macam jalan atau tariqat seperti jalan yang ditempuh oleh ahli filasafat, jalan yang ditempuh oleh ahli mantiq atau logic, jalan yang ditempuh oleh ahli akhlak, dan sebagainya. Orang tasauf mengutamakan suatu jalan tertentu, yang mereka namakan tariqatus sufiyah, tariqat Sufi yang terdiri daripada latihan-latihan ibadat, sebagaimana yang diperintahkan dalam agama.

Al Imam Al Ghazali berpendapat, bahawa hakikat itu tidak dapat dipelajari dengan ilmu pengetahuan saja, dengan tidak ada latihan, hakikat itu tidak dapat dicapai.Seseorang yang ingin mencintai tuhan itu, tetapi biasanya kecintaan itu belum meresap dalam dirinya, ia belum yakin dalam eerti kata yang sesungguhnya, fikirannya masih penuh dengan syak wasangka. Tetapi jika dia melakukan riadah, menjalani aturan-aturan yang diwajibkan kepadanya dalam tariqat, baik mengenai latihan badan, maupun mengenai latihan jiwa dan berfikir, biasanya hal itu lebih melekaskan atau mempercepatkan dia mencapai maksudnya.

Al Ghazali menerangkan, bahawa Ilmu itu tidaklah semudah itu untuk mencapai hakikat, kerana hakikat itu keluar dari dalam hati. Sekali hakikat itu datang terang dan jelas didalam hati, seakan-akan dicampakkan kedalamnya dengan tidak diketahui, sekali ia di perolehi, dengan jalan penyelidikan dan mempelajari dalil-dalilnya

Hakikat yang diperolehi tidak dengan usaha itu dipanggil Ilham, manakala yang diperolehi dengan mempelajari alasan dan penyelidikan disebut I’tibar dan Istibsar.

Yang diperolehi dalam hati dengan tidak bersusah payah dan bersungguh-sungguh mencarinya  dan dibahagi atas dua bahagian, pertama tidak diketahui darimana dan bagaimana datangnya, hanya dengan tiba-tiba sudah jelas dalam hatinya, disebut Ilham, dan kedua diperolehi dengan tiba-tiba daripada hakikat itu biasanya diperolehi pada diri Auliya’ dan Asfiya’ sedang hakikat yang diperolehi dengan usaha yang dipelajari dari alasan dan penyelidikan hanya dapat dicapai oleh Ulama-ulama.

Tiap-tiap sesuatu,baik benda dan keadaan, ada hakikatnya yang sudah ditakdirkan pada azalinya oleh Tuhan, sudah tertulis pada Luh Mahfuz tidak diketahui oleh manusia, tertutup atau lebih tepat dinamakan dengan istilah Sufi terdinding oleh hijab, yang menghalangi manusia tidak dapat melihatnya. Sebagaimana manusia tidak dapat mengetahui perasaan atau sesuatu urat yang terkandung dalam hati manusia lain, begitu jugalah hakikat sesuatu yang tertulis pada Luh Mahfuz, yang menentukan perjalanan alam ini tidaklah  dapat diketahui oleh manusia biasa kerana antara matanya dan Luh Mahfuz Tuhan, terhijab dan tertutup. Manusia hanya dapat meraba-raba dengan ilmunya, dan meneka dengan fikirannya dan akalnya yang sederhana, bagaimana duduknya sesuatu perkara dalam alam ni. Al Ghazali menerangkan bahawa hatilah yang dapat mencapai hakikat sebagaimana yang tertulis pada Luh Mahfuz itu, iaitu hati yang sudah bersih dan murni.

Memang kadang-kadang hijab antara hati dan Luh Mahfuz itu dapat dihilangkan dengan uisaha anggota badan dan pancaindera yang diasah dan dilatih, tetapi juga, kadang-kadang diluar usaha manusia , hijab itu terbuka kerana tiupan bisikan Sufi, yang dinamakan oleh Al Ghazali: “Riyahul altaf”.

Maka ketika itu terbukalah hijab yang menutup mata hati dan ketika itu jelas dan teranglah semua kepada orang yang berkepentingan apa yang tertulis diatas Luh Mahfuz itu. Tetapai ada juga hijab itu terbuka pada waktu tidur, orang yang berkepentingan itu dapat melihat hal-hal  yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Hijab itu seluruhnya akan terangkat bagi seorang manusia  apabila dia mati. Dan tutup hijab itu akan terangkat pada watu terjaga diangkatkan  oleh Tuhan maka terpancarlah  cahaya dalam hati disebalik selubung rahsia yang merupakan suatu Ilmu yang memelikkan(menghairankan-ajaib) yang tidak mudah didapati.  Kadang –kadang meletus cahaya itu semacam petir,  dan  adakalanya datang berturut-turut secara lemah longlai.

Inilah gambaran pokok-pokok ma’rifat Sufi, keistimewaan Para ulama dan ambiya’. Ulama menghilangkan hijab itu dengan usaha dan kegiatannya. Manakala para Ambiya’ dan Auliya’ tidak menghilangkan hijab itu dengan mempelajari dan menyelidiki atau diusahakannya dengan kegiatan tetapi ditiupi kedalam hatinya oleh, “Riyahul altaf”, yang menyemburkan cahaya suci yang dapat mengangkat hijab serta dapat  melihat apa yang tertulis diatas Luh Mahfuz.

Apabila semua ini kita ketahui, maka tidaklah menghairankan bagi kita kenapa  orang-orang Sufi itu lebih cenderung kepada ilmu ilhamiyah daripada ilmu ta’limiyah. Mereka tidak ingin bersusah payah untuk mempelajari ilmu yang dikarang oleh manusia, dikupas dan diulas dalam jilid –jilid kitab yang tebal. Mereka lebih cenderung kepada  keinginan  menempuh jalan atau tariqat yang merupakan pendahuluan mujahadah melenyapkan pada dirinya sifat-sifat yang tercela, memutuskan segala bentuk hubungan yang dapat merugikan kesucian dirinya serta mempersiapkan diri untuk menerima pancaran Nur Tuhan itu.

Tidak mustahil ianya tidak berhasil, kerana Tuhan Maha Kaya terhadap hambaNya, dan Tuhan adalah sumber daripada segala cahaya dan ilmu itu. Apabila  Tuhan telah menembusi hati hambaNya dengan nur dan cahayaNya, berlimpah ruahlah Rahmat. Hati hambaNya bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir rahsia malakut dengan kurnia Rahmat itu dan tatkala itu jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini tersembunyi.

Al Ghazali meneruskan, bahawa tidak ada yang dikerjakan oleh seorang hamba kecuali mempersiapkan dirinya dengan kesucian yang murni, menyediakan himmahnya dengan kehendak yang benar, dan menanti dengan tenang akan segala rahmatNya.

Sungguh bagi Nabi-Nabi dan Wali-Wali terbukalah apa yang tertutup, jelaslah apa yang tersembunyi, kedalam dadanya berlimpah nur dan cahaya, tidak dengan bertekun dan belajar, tidak dengan membolakbalikkan buku-buku yang bertimbun, tetapi dengan zuhud didalam dunia, dengan melepaskan hubungan yang tidak perlu dan merugikan, mengosongkan hati dari segala kebimbangannya, siap sedia menerima kurniaan Allah yang akan tertumpah dan tercurah kedalamnya, kerana barangsiapa yang menyediakan dirinya untuk Allah,, Maka Allah itu, tersedia baginya.

Hati itu mempunyai keanehan, ia terlepas dari pengaruh pacaindera, bebas dari otak dan pengajaran. Bahkan lebiih dari otak dan pengajaran, acapkali tiap hal perkara  yang tidak sanggup difikirkan otak, terlintas dalam hati dengan jelas..

Barangkali suatu perumpamaan lebih menjelaskan kedudukan persoalan ini:

Kita gali sebuah tebat, kita alirkan kedalam air dari tempat lain melalui saluran. Memang dengan usaha sedemikian tebat itu akan terisi, tetapi ianya terbatas, sebanyak air yang mengalir melalui saluran itu. Jika air dalam tebat itu terpancar dari dalam tanah, nescaya ia merupakan isi tebat yang tidak akan kering dan inilah Ilmu yang diusahakan dari luar, melalui pancaindera sumber mata air yang tidak akan kering.

Semua hakikat benda dan keadaan tertulis diatas luh Mahfuiz tetapi juga tergambar dihati malaikat yang suci. Sebagaimana  seorang  ahli bangunan melukiskan rencananya diatas selembar denah, yang kemudian dilaksanakannya demikian juga Pencipta langit dan Bumi ini melukis rencananya diatas Luh Mahfuz. Satu demi satuperincian, yang kemudian diwujudkan sesuai dengan denah Ketuhanan itu. Maka terjadilah alam itu dalam empat tingkat, ujudnya dalam Luh Mahfuz, weujudnya yang hakiki sebagaimana yang terklaksana, wujud khayati debagtaiaman yang dsapat diterka dan wujud akli sebagaimana yang dapat difikirkan dan terlintas dalam hati. Makin suci seseorang manusia, makin dekat ia kepada alam malakut dan makin dekat ia kepada hakikat yang sebenarnya. Makin dekat sesorang hamba kepada alam nasut, yang penuh dengan alam khayal belaka atau ilmu yang diraba-raba dengan pancaindera, maka makin jauhlah ia daripada hakikat dan rencana Tuhan yang sebenarnya, iaitu rencana sebagaimana yang tertulis pada azal atau Luh Mahfuz.



Mengenal Allah melalui mengenal diri sendiri



Salah satu cara mengenal Allah ialah dengan mengenal diri sendiri. Maksudnya ialah hakikat diri yang sebenarnya. Adapun yang dimaksudkan diri yang sebenarnya itu bukanlah diri yang bersifat lahiriah, kerana jasad ini tidak membawa makna yang sebenar untuk mengenal Allah SWT.

Pada abad modern ini, ramai dikalangan kita tidak mengenal dirinya yang sebenar. Mereka menganggap bahawa dirinya hanyalah tiubuh badan yang terdiri daripada kulit, daging, tulang, darah dan sebagainya. Yang dimaksudkan dengan sebenarnya ialah diri yang batin iaitu diri yang dating dan akan kembali kepada Allah SWT.

Ulama Ilmu ketuhanan atau Ilmu Tauhid berpegang kepada bahawa diri ini merupakan tangga untuk mengenal Allah, sesuai dengan dalil yang mengatakan: “Siapa yang mengenal Tuhannya.”

Dikalangan ulama tasauf atau ulama Ilmu ketuhanan selalu menasihatkan, ”carilah diri kamu dalam diri.”maksudnya, ialah menyuruh agar kita mencari hakikat diri kita yang sebenarnya terlebih dahulu. Apabila kita telah menemukan diri kita yang sebenarnya pasti kita akan mengakui hakikat adanya Allah SWT.

Walaupun didalam Al Quran ‘diri’ itu disebut dengan belbagai istilah, tetapi tujannya adalah untuk mengingatkan kepada manusia supaya berfikir bahawa betapa luasnya ‘diri’ yang hakikat itu didalam manusia. Diri manusia dilengkapi oleh Allah dengan sifat-sifat tertentu, kemudian sifat-sifat tersebut dinilai atau dihisab, samaada  baik ataupun buruk.

Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta dipertyanggungjawabkannya.”

Allah menjelaskan kepada kita tentang istilah jiwa dan sifat-sifat yang terdapat pada jiwa, iaitu pendengaran, penglihatan disamping roh juga akan diuji tentang ketaqwaannya kepada Allah. Itulah sebabnya ketika Allah berfirman kepada roh-roh atau jiwa, ianya  sedia untuk berbakti dan melaksanakan perintah tersebut maka diciptakanlah jasad, lalu Allah menjadikan Adam. Roh telah berikrar dan berjanji kepada Allah, maka untuk membuktikan dan berbuat sesuatu maka roh memerlukan tempat iaitu jasad.

Istilah batin disebut juga dalam Al Quran dengan Qalbu. Seandainya Qalbi tersebut diterangi dengan nur maka selamatlah seseorang itu. Maka sekiranya tiada nur, gelaplah seseorang itu. Qalbi mestilah mempunyai asas yang membolehkannya selamat yang hanya Allah saja yang boleh menentukannya. Sesungguhnya segala sesuatu yang ada dalam diri berupa nafas, akal. nafsu dan roh., bila menjadi satu maka dinamakan dengan insan.

Qalbi didalam Al Quran diistilah sebagai diri atau hati. Qalbi sebenarnya mengetahui apa yang patut dibuat dan apa yang patut dilaksanakan mengikut nilai-nilai diri itu sendiri.

Firman Allah SWT maksudnya:
“Sesungguhnya berbahagialah sesiapa yang membersihkan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (As Sham: 9-10)

Wassalam

Adapun hakikat ilmu itu ialah mengerjakan yang Haq dan menjauh pada segala yang batil

Adapun  hakikat ilmu itu ialah mengerjakan yang Haq dan menjauh pada segala yang batil dan mendatangkan pada tiap-tiap sesuatu  amalan atau perbuatan yang layak padanya.  Inilah hal yang menunjukkan hal seseorang yang tiada redho atas nafsunya.  Walaupu kurang ilmunya tentang tauhid ini, tetapi hal-ahwalnya berdasarkan kepada hakikat ilmu yang dapat melihat aib dan cela nafsunya

Dan kata seorang lelaki bagi Syu'bi;
"Hai orang 'Alim"
Maka katanya (Syu'bi);
"Diam engkau !!!.  Hanyasanya orang yang 'Alim itu orang yang takut ia akan Allah Taala".
Ini bermaksud jika banyak ilmu tapi tidak takut pada Tuhan.  Itu bukan dikatakan 'Alim namanya.
Dan kata Sufian At-Tsauri r.a.;
"Hanyasanya  diajari ilmu ini(Ilmu Tasauf) supaya (menimbulkan) ketakutan akan Allah dengannya dan
Hanyasanya dilebihkan ilmu itu atas lainnya kerana bahawasanya (menimbulkan) ketakutan akan Allah dengannya".
Dan kata Furqad Al Sanjiyu rahimallah'
Bahawasanya bertanya aku kepada Hasan Al-Bashori daripada suatu masalah (fekah).  Maka menjawab ia (masalah yang ditanya) akan daku.
Maka kataku (Furqad);
Bahawasanya segala fuqaha' (ahli-ahli fekah) itu menyalahi mereka itu akan dikau (iaitu jawapan yang diberikan oleh  Hasan Al-Bashori itu tidak sama dengan ahli-ahli fekah malah ianya lain dari yang lain)
Maka katanya (Hasan  Al- Bashori);
Adalah ketiadaan guru engkau hai Furqad.
Dan adakah melihat matamu fakeh? (iaitu adakah engkau ketahui apa itu sebenarnya fakeh?)
Hanyasanya fakeh itu iaitu (adalah mereka)
  • Yang zahid dalam dunia dan;
  • Yang raghob(gemar) dalam (mengejar) akhirat dan;
  • Yang melihat dalam pekerjaan agamanya(yakni mereka yang menilai akan hukum halal haram harus, sunat, makruh, sah batal dalam melakukan sebarang pekerjaan dan perbuatannya)
  • Yang sentiasa atas ibadat Tuhannya (semua pekerjaannya menjadi ibadat kerana mengikut syarak Allah)
  • Yang warak,  iaitu; mereka
    • yang menahan dirinya daripada mencerca segala orang Islam dan;
    • yang memeliharakan daripada segala harta (dari yang haram dan yang syubhat) dan;
    • yang memberi nasihat bagi jemaah mereka itu (orang ramai di sekelilngnya) dan;
    • yang bersungguh-sungguh dalam ibadat dan;
    • yang mendirikan(mengikut) atas sunnah Rasulullah SAW. dan;
    •  yang tiada menggelar-gelarkan (bertuan  berdatuk atau apa sahaja panggilan-panggilan mulia) atas orang yang di atasnya (yakni orang yang lebih mulia daripadanya dan;
    • tiada menghinakan atas orang yang di bawahnya dan;
    •  tiada menjadi ilmu yang diketahui Allah akan dia (menggunakan kefakehannya dalam agama) kerana [mengejar] harta dunia.
Dan sabda Nabi SAW.;
Terlebih sangat manusia itu disiksakan pada Qiyamat adalah orang yang 'Alim yang tiada memberi manfaat ilmunya (Riwayat Baihaqi daripada Abi  Hurairah r.a.)
Dan barangsiapa jahil ia kepada kejadian dirinya(aib , lemah,  fakir, dhoif, haqir, hina)  dan menyangka ia Alim (tahu dan lebih tinggi dari) pada (orang) lainnya,  maka iaitu terlebih sangat jahilnya.  Dan tanda jahilnya itu (ialah) redho daripada (tuntutan nafsu)nya pada hal melebihkan(mengutamakan) bagi dunianya.
Maka lazimkan(wajib) olehmu  bersahabat dengan orang yang menunjuk akan dikau atas kebajikan (daripada) segala katanya dan mendirikan akan dikau kepada  Allah Taala (pada) segala  pekerjaan.

Dan adalah redho daripada nafsu dan ketiadaan redho itu,  jadi ia daripada bersahabat dengan segala orang yang baik dan orang yang jahat kerana bahwasanya seseorang itu (dihimpunkan) di atas agama  kekasihnya (iaitu seseorang akan berkelakuan seperti orang yang rapat dan mesra dengannya).   Maka kerana demikian itulah berkata;
Sheikh Ibni Athoillah As Kanddari RA.
 
"Sesungguhnya bersahabat engkau akan orang jahil yang tiada redho ia dengan nafsunya terlebih baik daripada bersahabat dengan orang yang 'Alim yang redho dengan nafsunya".

dibukakan bagimu pintu taat dengan rajin dan tekun untuk mendirikan dan menambah, mempertingkatkan setiap amalan kebajikan yang disukai oleh syarak.

Kadang-kadang(bukannya selalu atau bukan semestinya begitu),  dibukakan bagimu pintu taat dengan rajin dan tekun untuk mendirikan dan menambah, mempertingkatkan setiap amalan kebajikan yang disukai oleh syarak.
  • Rajin sembahyang dan puasa,
  • tekun dalam menuntut ilmu,
  • bersemangat dalam berwirid dan berzikir,
  • suka menganjurkan kebaikan untuk diri sendiri dan umum dan
  • sentiasa cenderung untuk melipatgandakan amal taat yang sedia ada.
Tetapi malangnya, ...... semua amal taat dan kebajikan yang dikerjakan itu tiada dibukakan bagimu pintu Qabul  yakni  tidak diterima oleh Allah.  Dengan kata lain amal taat yang mengunung tinggi banyak sekali pun yang kita kerjakan belum tentu dapat menjamin diterima oleh Allah Taala.  Bila sudah tidak diterima,  maka semakin menjauhlah hamba itu dengan Tuhan-Nya.
Banyaklah punca dan sebab-sebabnya yang menjadikan amal taat itu tidak diterima,  tetapi yang paling besarnya ialah wujudnya hama syirik dalam ibadat;  paling tidak,  ... menilik dan  memandang kepada keupayaan diri.  Orang yang bersyirik adalah mereka yang menduakan Allah.  Bila dua,  maka terlontar jauhlah diri daripada mencapai hakikat Keesaan atau Tauhid.
Apabila jalan taat dan kebaikan tidak dapat menghampirkan diri hamba dengan Tuhan-Nya,  sebagai satu Kurnia dari  Yang Bersifat Pengasih lagi Penyayang,  maka dihukum denganmu dosa  yakni maka Allah akan menjatuhkan dirimu kepada suatu dosa dan maksiat yang amat kau kesali.    Dalam baik-baik kita mengistiqamahkan amal kebajikan dan ketaatan kepada Allah,  maka tiba-tiba timbul satu musibah yang menyebabkan diri tersilap dan terjerumus ke dalam najis dosa dan maksiat.  Mungkin tanpa disedari kita telah mengkhianati saudara kita dengan terpaksa menipu atau menindas mereka demi untuk menjaga maruah dan harga diri kita atau keluarga.  Mungkin tanpa sengaja,  kita terambil hak orang lain yang lebih memerlukan demi untuk memelihara keperluan diri dan mungkin apa sahaja yang menjadikan diri kita bertindak tidak mengikut jalan yang diredhoi oleh Allah.  Bila disedari akan kesilapan dan kesalahan diri itu,  betapa hati(orang mukmin) akan menyesali,  menjadi berterbangan segala jantung   kerana takutkan pembalasan Allah.
Tersumbat hati dengan dirasai bahawa tidak satu makhluk pun yang dapat membersihkan najis yang  terpalit itu,  malah dirasakan tidak ada sesuatu yang dapat menolong dan membantunya melainkan Allah Taala Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengampuni.   Maka adalah dosa itu akan sebab sampaimu kepada-Nya  yakni dengan dosa dan penyesalan itu akan membukakan pintu kesedaran bahawa tidak ada sesuatu lagi melainkan Allah sahaja yang dapat membantunya.  Hati yang penuh kesedaran ini sahajalah yang akan sampai kepada Allah.
  • Tunduk dan merendahkan diri dengan penuh kehinaan dan kedhoifan.
  • Sedar betapa lekeh dirinya,
  • betapa hina dan jahat dirinya ,
  • betapa lemahnya diri dan  segala sesuatu yang lain,
  • betapa dhoif diri sendiri hingga tidak berupaya menguruskan kehidupan dengan baik,
yang menjadikan diri lemah longlai tersandar di dinding tanpa ada ruang lagi di sekeliling dengan memandang dan mengharapkan pertolongan belas ihsan dan kebaikan melainkan dari Allah semata-mata.  Keadaan inilah,   dengan hati yang merujuk terus kepada Wajah Allah tanpa sebarang tolehan kepada yang lain;  akan membawa seseorang berhadapan dengan Hadirat-Nya.  Hal ini tidak sebagaimana yang biasa terjadi kepada ahli taat yang memandang akan wujud upaya dirinya.
Inilah ciri-ciri seorang hamba yang  mukmin  kerana orang yang mukmin itu apabila jatuh daripada dosa,  maka jadilah ia menyesal  dan Ihtiqar dirinya.  Maka adalah demikian itu sebab dalam sampaimu.
Tegasnya sewaktu taat tidak dibukakan pintu kehampiran kerana punya hama syirik yang menilik upaya diri,  sebaliknya pintu kehampiran itu dibukakan buat yang berdosa tetapi menyesali dan menyedari lemah dirinya(dengan maksud tidak wujud sesuatu kuasa yang dapat menolong dirinya bagi mendapat sesuatu kebaikan melainkan dengan limpah kurnia dari Allah Taala)

maka wajiblah bagi hamba yang ingin mencapai kehampiran dengan Allah tidak menilik kepada segala surah(rupa) sesuatu[amal]

yakni;
  • Tidak menilik kepada banyak sedikitnya amal atau;
  • Tidak menilik kepada kecantikan dan kebaikan amal itu;
  • Tidak menilik kepada habuan diri seperti keramat dan kemuliaan;
  • Tidak menilik kepada balasan syurga dengan segala nikmatnya;
  • Tidak menilik kepada tempat itu dan ini(depan orang buat,  di belakang orang tidak buat,  atau di masjid banyak beramal tetapi di tempat lain rasa kurang untuk beramal);
  • Tidak ujub dengan kehebatan diri dalam mendirikan pelbagai taat yang jarang dapat dikerjakan oleh kebanyakan orang;
Bahkan sebagai seorang hamba yang sedar diri hendaklah menilik ia kepada segala hakikatnya  yakni Kehendak Allah,  Kekuasaan Allah,  Kekayaan Allah,  Kemurahan Allah dengan segala Limpah Kurnia-Nya.  Bersyukur dengan memandang kepada Allah Yang Memberi bukannya kepada apa yang diberikan .

Dan wujud surah(rupa) dosa itu tiada menghendaki ia akan jauh tetapi terkadang adalah demikian itu sebab sampainya kepada Tuhan-Nya

Dan wujud surah(rupa) dosa itu tiada menghendaki ia akan jauh tetapi terkadang adalah demikian itu sebab sampainya kepada Tuhan-Nya  dan hasilnya dalam hadirat hampir-Nya seperti yang dikata orang;  terkadang dosa itu memasukkan ia ke dalam syurga.

Kenapa dan mengapa sehingga wajib seorang hamba itu menilik kepada segala hakikatnya bukan kepada segala rupa amalannya?


Ini adalah kerana segala wajah taat  itu tiada menghendaki ia akan wujud qabul baginya  yakni Allah tidak memandang kepada zhohir dan rupa segala bentuk amal ibadat sebagai syarat penerimaan diterima sesuatu amalan tersebut,  kerana pada seorang yang memandang kepada wajah taat atau keupayaan dirinya menunjukkan mereka masih dibayangi oleh ifat(penyakit) yang memberi kecederaannya daripada tiada ikhlas dalamnya yakni  penyakit-penyatkit seperti riya',  ujub, takabbur dan sebagainya yang sememangnya sukar untuk dilihat seumpama semut hitam yang berjalan di atas batu hitam pada waktu yang kelam.
Dengan adanya hama penyakit yang menyelinap di sebalik sesuatu ketaatan itu,  maka jauhlah amalan tersebut daripada memasuki pintu qabul atau penerimaan oleh Allah Taala.

Monday, February 14, 2011

Cara Ahli Tasauf Tariqat dalam Mengenal Allah


Bagi para Ahli Tasauf’Tariqat ada cara tersendiri didalam mengenal Tuhan. Mereka sama meletakkan dasar-dasar teori pengenalan Tuhan yang tidak bersifat rasional. Berbeda dengan dasar-dasar teori pengenalan Tuhan yang berlaku bagi kalangan ahli theology Islam(Ilmu Tauhid) dan juga berbeda dengan yang berlaku bagi kalangan ahli syariat(Ilmu Fiqh).

Bagi Ahli Fiqh cara yang dipergunakan dalam mengenal Tuhan ialah dengan jalan keterangan dari dalil-dalil naqli(Al Quran dan hadis). Didalam memperkuatkan kepercayaan maka Al Quran tidak dipergunakan sebagai alasan-alasan logika atau dengan penyelidikan akal fikiran seperti yang terjadi didalam falsafah. Berbeda dengan ahli kalam(tauhid) didalam cara mengenal Tuhan banyak mempergunakan jalan penyelidikan akal fikiran. Dengan dasar ini, maka mengetahui siapa Tuhan, meskipun belum tentu mereka dapat menyaksikan Tuhan. Termasuk dalam golongan yang memakai cara ini ialah kaum ‘filosof’.

Lain halnya dengan ahli tasauf/tariqat, mereka dapat mengenal Tuhan melalui dasar-dasar teori perasaan hati lantaran ilham yang dilimpahkan Allah kedalam jiwa manusia sebagai bentuk wujud pemberian rahmatNya. Hal ini lazimnya dapat dicapai oleh manusia ketika ia telah dapat sampai kejinjang diri peribadinya dilepaskan dari segala macam bentuk godaan hawa nafsu yang lampau dengan memusatnya fikiran degan mengingati kepada zat Yang Maha Kuasa.

Keadaan yang demikian ini mengakibat segala macam rahsia disebalik hijab cahaya Allah dan NabiNya dapat tersingkap oleh dirinya dan diketahui secara jelas pada penglihatan mata hati. Sebagaimana orang yang melihat air jernih yang berada didalam gelas yang jernih pula, sehingga segala sesuatu yang ada dibalik gelas yang jernih itu dapat dilihat dengan terang-benderang.

Huraian diatas memberikan penegasan bahawa kerana adanya perbedzaan dasar-dasar pengenalan Tuhan yang berlainan diantara ahli feqah dan ahli tauhid dengan ahli Tasauf/Tariqat, maka selayaknya sering menimbulkan perbedzaan didalam cara menyelidiki Tuhan dengan segala akibatnya (daripada sesuatu perbuatan).

Akhir-akhir ini perbezaan tersebut mulai terungkap lagi disana sini. Ada sementara orang yang berbicara manis soal Tasauf/Tariqat dengan penuh kelicikan menggunakan gaya “ahli pemberi fatwa agama,” sering menyampaikan pendapat, baik pada lisan ataupun tulisan yang menganggap Ulama  ahli Tasauf/Tariqat dengan terang-terangan menyesatkan ummat terutama bagi para jamaahnya.

Perlu diketahui bahawa biasanya orang yang suka menggelabahkan jalan fikirannya sebagaimana anggapan negatif terhadap ulama’ Tasauf/ Tariqat itu adalah akibat adanya kekurangan pengertian terhadap masaalahnya. Sedangkan factor-faktor yang mendorong timbulnya fikiran semacam itu antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Adanya pendangkalan pengertian tentang Islam, seringkali hal ini menyebabkan Islam hanya dilihat dari satu dimensi tidak secara keseluruhan dan bulat.
  2. Adanya ilmu-ilmu yang diperolehi tidak pada Guru Mursyid atau syeikh, melainkan diambilkan dari hasil membaca buku-buku dengan upaya sendiri. Akibatnya jalan fikiran banyak dipengaruhi oleh hawa nafsu.
  3. Mereka cenderung mengambil dasar-dasar fikiran didalam mengungkap Islam justeru bersumber dari dasar-dasar fikiran kaum “rasionalis Matrialisme”, yakni fahaman yang beranggapan segala sesuatu dalam hidup harus dapat dipecahkan secara rasional dan dapat dilihat oleh pacaindera. Dasar teori “rasionalis Matrialisme” tentang hal ke timuran yakni tentang Islam dari berbagai aspeknya.
  4. Mereka mudah mengeluarkan fatwa “mari kembali kepada Al Quran dan Al-Hadis” tetapi mereka sendiri banyak menyimpang dari tuntutan yang semestinya tercantum didalam Al Quran dan Al hadis itu.
  5. Adanya factor alat-alat pelengkapan yang sangat dirasa kurang sekali, untuk keperluan mengadakan pembongkaran dan penelitian terhadap konstruksi bahasa Islam (Bahasa Arab). Seperti tidak menguasai Ilmu Lughat dengan Qawaidnya, Ilmu Hadis dengan Musthalahnya, Ilmu Balaghah, Badi’ Bayan dan mereka sering mengalami kesulitan didalam memahami dan membahas kalam Al Quran yang banyak berbentuk fasekh, baligh dan bahkan banyak yang majaz.

Faktor-faktor diatas itulah diantara penyebab mereka sudah tergelincir dalam kekeliruan yang tiada dirasa. Oleh kerana itu tidak mustahil mereka dengan mudah tanpa ambil pusing terus cepat-cepat melontarkan anggapan bahawa para ahli Tasauf/Tariqat adalah sebagai orang yang hanya akan mengajak ummat atau jamaah untuk menjadi sesat dan bahkan dapat berakibat syirik dan kafir. Naudzubillah himin zalik!

Padahal dengan penjelasan tentang dasar hukum dan tujuan Tasauf/Tariqat Mu’tabarah dimuka tadi, adalah jelas sentiasa sesuai dan berdiri tegak diatas tutunan dan petunjuk langsung baik dari Al Quran maupun al Hadis.

Wallhu ta’ala a’lam

Wassalamu..

Ilmu Kalam


Dalam buku Theologi Islam karangan Ahmad Hanafi MA. Menyebutkan:
Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan(Allah), sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada padaNya  dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.

Ada yang mengatakan bahawa Ilmi kalam ialah Ilmu yang membicarakan tentang menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama Islam) dengan bukti-bukti yang diyakini.

Ibnu Khaldun mengatakan, Ilmu Kalam ialah Ilmu yang berisikan alasan-alasan bagi mempertahankan kepercayaan –kepercayaan Iman dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dan kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahlul Sunnah.

Masih ada defisi-defisi lainnya, akan tetapi semuanya itu membincangkan kepercayaan diatas dan cara menguraikankepercayaan-kepercayaan itu, iaitu kepercayaan tentang kebenaran khabar yang dibawa oleh Rasul, tentang alam Ghaib, seperti ahirat dan lain-lain.

Didalam nas-nas  yang terdapat didalam beberapa kitab-kitab muktabar, terdapat perkataan al-Kalam yang menunjukkan suatu Ilmu yang terdiri sendirisebagaimana yang diertikan sekarang.. Erti semula dari perkataan Al Kalam ialah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan sesuatu maksud. Kemudian digunakan untuk menunjukkan salah satu sifat Tuhan, iaitu sifat berbicara (berkata: al nutqu). Dalam Quran banyak kita dapati perkataan Kalamullah, seperti dalam ayat 6 Al Baqarah, ayat 75, 253, dan An Nisaa’ ayat 164.

سُوۡرَةُ البَقَرَة

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang kafir (yang tidak akan beriman), sama sahaja kepada mereka: Samada engkau beri amaran kepadanya atau engkau tidak beri amaran, mereka tidak akan beriman.”  (Al Baqarah 2: 6)

سُوۡرَةُ البَقَرَة

۞ أَفَتَطۡمَعُونَ أَن يُؤۡمِنُواْ لَكُمۡ وَقَدۡ كَانَ فَرِيقٌ۬ مِّنۡهُمۡ يَسۡمَعُونَ ڪَلَـٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ ۥ مِنۢ بَعۡدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ
“(Sesudah kamu wahai Muhammad dan pengikut-pengikutmu mengetahui tentang kerasnya hati orang-orang Yahudi itu) maka bolehkah kamu menaruh harapan bahawa mereka akan beriman kepada seruan Islam yang kamu sampaikan itu, padahal sesungguhnya telah ada satu puak dari mereka yang mendengar Kalam Allah (Taurat), kemudian mereka mengubah dan memutarkan maksudnya sesudah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui (bahawa perbuatan itu salah)?”  (Al Baqarah 2: 75)

سُوۡرَةُ البَقَرَة

۞ تِلۡكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلۡنَا بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ۬‌ۘ مِّنۡهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُ‌ۖ وَرَفَعَ بَعۡضَهُمۡ دَرَجَـٰتٍ۬‌ۚ وَءَاتَيۡنَا عِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَأَيَّدۡنَـٰهُ بِرُوحِ ٱلۡقُدُسِ‌ۗ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلَ ٱلَّذِينَ مِنۢ بَعۡدِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُ وَلَـٰكِنِ ٱخۡتَلَفُواْ فَمِنۡہُم مَّنۡ ءَامَنَ وَمِنۡہُم مَّن كَفَرَ‌ۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلُواْ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebahagian daripada mereka atas sebahagian yang lain (dengan kelebihan-kelebihan yang tertentu). Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata dengannya dan ditinggikanNya (pangkat) sebahagian daripada mereka beberapa darjat kelebihan dan Kami berikan Nabi Isa Ibni Mariam beberapa keterangan kebenaran (mukjizat), serta Kami kuatkan dia dengan Rohulqudus (Jibril) dan sekiranya Allah menghendaki nescaya orang-orang yang datang kemudian daripada Rasul-rasul itu tidak berbunuh-bunuhan sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan (yang dibawa oleh Rasul mereka). Tetapi mereka bertelingkah, maka timbullah di antara mereka: Orang yang beriman dan orang yang kafir. Dan kalaulah Allah menghendaki tentulah mereka tidak berbunuh-bunuhan; tetapi Allah melakukan apa yang dikehendakiNya.”  (Al Baqarah 2: 253)

سُوۡرَةُ النِّسَاء

وَرُسُلاً۬ قَدۡ قَصَصۡنَـٰهُمۡ عَلَيۡكَ مِن قَبۡلُ وَرُسُلاً۬ لَّمۡ نَقۡصُصۡهُمۡ عَلَيۡكَ‌ۚ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَڪۡلِيمً۬ا
“Dan (Kami telah mengutuskan) beberapa orang Rasul yang telah Kami ceritakan kepadamu dahulu sebelum ini dan Rasul-rasul yang tidak Kami ceritakan hal mereka kepadamu dan Allah telah berkata-kata kepada Nabi Musa dengan kata-kata (secara langsung, tidak ada perantaraan)”. (An Nisaa’4: 164)

Perkataan al Kalam sebenarnya adalah untuk menunjukkan suatu Ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana yang kita kenal sekarang, ini untuk pertama kalinya digunakan pada masa Abbasiyah, atau pada masa al-Ma’mun. Sebelum masa tersebut, pembahasan tentang kepercayaan-kepercayaan dalam Islam disebut ‘al-fiqhu fiddin’ sebagai mengimbangi terhadap al fiqhu fi ilmi’ yang diertikan Ilmu Hukum (ilmu –qanun). Mereka berkata, al fiqhu fiddin afdlalu minal-fiqhi-fil ilmi.’ Abu Hanifah menamakan bukunya tentang kepercayaan-kepercayaan ‘Al Fiqhu al akbar.’.

Assyihristani berkata sebagai berikut: “Setelah Ulama-Ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab falsafah yang diterjemahkan pada masa Al Ma’mun, mereka  mempertemukan cara(system) flsafah dengan system Ilmu Kalam dan dijadikan ilmu yang berdiri sendiri dinamakannya Ilmu kalam. Sejak itu dipakailah perkataan al Kalam untuk Ilmu yang berdiri sendiri.

Ilmu ini dinamakan Ilmu Kalam kerana:

  1. Persoalan terpenting yang menjadi perbincangan pada abad-abad permulaan hijrah ialah ‘Firman Tuhan’ (Kalam Allah) dan tidak azalinya Quran (Khalq al Quran) kerana itu, keseluruhan isi Ilmu Kalam dinamai dengan salah satu bahagiannya yang terpenting.

  1. Dasar ilmu Kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil-dalil ini Nampak jelas dalam perbicaraan-perbicaraan para mutaqallimun. Mereka jarang-jarang kembali kepada dalil naqal(Quran dan hadis) kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan lebih dahulu.


  1. Kerana cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logic dalam falsafah, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai Ilmu Kalam untuk membedakan dengan logic  dalam falsafah.

Ilmu Kalam juga dinamakan Ilmu Tauhid. Erti tauhid ialah percaya kepada Tuhan yang Maha Esa (MengEsakan Tuhan), tidak ada sekutu bagiNya. Ilmu Kalam dinamakan Ilmu Tauhid, kerana tujuannya ialah menetapkan keEsaan Allah dalam zat dan perbuatanNya dalam menjadikan alam semesta dan hanya Allah yang menjadi tempat tujuan terakhir  alam ini. Perinsip inilah yang menjadikan tujuan utama diutuskannya Nabi Muhammad s.a.w.

Ilmu Kalam inimenyerupai Thologi (Ilmu allahut) bagi orang-orang masehi, Ahli ilmu Kalam disebut Mutaqallimun. Golongan ini biasa dianggap sebagai golongan yang berdiri sendiri yang menggunaka akal fikiran (alasan-alasan fikiran dalam memahami nas-nas- (teks) agama dan mempertahankan kepercayaan-kepercayaannya. Mereka berbeda dengan golongan Hambali yang berpegang teguh kepada kepercayaan-kepercayaan orang salat. Berbeda juga dengan orang-orang tasawuf yang mendasarkan pengetahuannya (Ilmunya: Ma’rifrat) kepada pengalaman batin dan renungan atau kasyf (terbuka dengan sendirinya)

Mutaqallimuun juga berbeda dari golongan filosof yang mengambil sumber pemikiran-pemikiran falsafah Yunan menganggap bahawa falsafah itu benar seluruhnya. Juga mereka berbeda dengan golongan syi’ah Ta’ limiyyah (doctrinaire) yang mengatakan bahawa dasar utama untuk Ilmu, bukan yang didapati akal, bukan pula yang didapati dari dalil naqal (Quran dan hadis), tetapi didapati dari imam-imam mereka yang suci (ma’sum).
Perihatin

CROWN D'RAJA PERTUBUHAN MQTK QuranSunnahIslam..

........free counters ..............................................................................“and I have come to you with a SIGN FROM YOUR LORD, so fear Allah and OBEY ME! Truly Allah is my Lord and your Lord. Therefore submit to HIM! This is A STRAIGHT PATH" (maryam 19:36)