Showing posts with label Aqidah. Show all posts
Showing posts with label Aqidah. Show all posts
Wednesday, April 13, 2011
Thursday, March 24, 2011
BEDA PENDAPAT BUKAN ALASAN UTK KITA BERPECAH.....AQIDAH YG BETUL ITU MATLAMATNYA!!!!!(ASWJ/AHLULBAIT)
BEDA PENDAPAT BUKAN ALASAN UTK KITA BERPECAH.....AQIDAH YG BETUL ITU MATLAMATNYA!!!!!(ASWJ/AHLULBAIT)
by Ym Nikmohdkamal Tydpmqtk on Wednesday, March 23, 2011 at 10:33am Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang keanekaragaman jama'ah-jama'ah Islamiyah yang tak jarang di antara mereka saling menerapkan bara' (berlepas diri), dan juga sikap yang harus diambil ketika terjadi perbedaan pendapat. Beliau memberikan penjelasan sebagai berikut: Tidak dapat disangkal lagi bahwa perpecahan, saling memvonis sesat, permusuhan, dan kebencian yang terjadi di kalangan para pemuda yang komitmen, sebagian terhadap sebagian yang lainnya yang tidak sepaham dengan manhaj masing-masing, adalah suatu hal yang menyedihkan dan sangat disayang-kan, bahkan bisa jadi menimbulkan dampak yang serius.
Perpecahan seperti ini ibarat penyejuk mata hati para syaithan dari bangsa jin dan manusia, sebab mereka tidak menyenangi apabila ahli kebajikan bersatu. Mereka menginginkan ahli kebajikan tersebut berpecah-belah karena mereka (para syaithan tersebut) mengetahui bahwa perpecahan akan meluluhlantakkan kekuatan yang dihasilkan oleh sikap komitmen dan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Hal ini telah disinyalir oleh beberapa firman-Nya, artinya,
"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu". (Q.S. Al-Anfal: 46).
"Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka". (Q.S. Ali 'Imran: 105)
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka". (Q.S. Al-An'am: 159)
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.". (Q.S. Asy-Syuro: 13)
Allah subhanahu wata’ala telah melarang kita berpecah-belah dan menjelaskan tentang akibatnya yang sangat buruk. Sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk menjadi umat yang bersatu dan satu kata (bersepakat). Perpecahan hanyalah akan merusak dan meluluh lantakkan urusan serta mengakibatkan lemahnya umat Islam. Di antara para shahabat pun terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi hal itu tidak menimbulkan perpecahan, permusuhan dan kebencian. Bahkan perbedaan pendapat itu terjadi pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.
Sepulang beliau dari perang Ahzab (Khandaq), ketika itu, Jibril datang dan memerintahkannya agar bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah sebab mereka telah membatalkan perjanjian.
Beliau lalu bersabda kepada para shahabatnya, "Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat 'Ashar kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah".
Mereka pun bergerak dari Madinah menuju perkampungan Bani Quraizhah, sementara waktu 'Ashar pun sudah tiba, lalu sebagian mereka berkata, "Kita tidak boleh melakukan shalat, melainkan di perkampungan Bani Quraizhah meskipun matahari sudah terbenam sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat 'Ashar melainkan (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah", karenanya kita harus mengatakan, “Sami'nâ wa atha'nâ” (Kami dengar dan kami patuh).
Sebagian mereka yang lain berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud agar kita bergegas dan bergerak -cepat keluar, dan bukan bermaksud agar mengakhirkan shalat".
Perihal tersebut kemudian sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau tidak mencerca salah seorang pun di antara mereka, tidak pula mencemooh pemahaman mereka. Jadi, mereka sendiri tidak berpecah-belah hanya karena berbeda pendapat di dalam memahami hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Demikian juga dengan kita, wajib untuk tidak berpecah-belah dan menjadi umat yang bersatu. Sedangkan bila yang terjadi justru perpecahan, maka bahayanya sangat besar. Optimisme yang kita harapkan dan cita-citakan dari kebangkitan Islam ini akan menjadi sirna, manakala kita mengetahui bahwa ia hanya akan dimiliki oleh kelompok-kelompok yang berpecah-belah, satu sama lain saling memvonis sesat dan mencela.
Solusi dari problematika ini adalah hanya dengan meniti jalan yang telah ditempuh oleh para shahabat, mengetahui bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad ini adalah dalam taraf masalah yang masih bisa ditolerir berijtihad di dalamnya dan mengetahui bahwa perbedaan pendapat ini tidak berpengaruh bahkan ia sebenarnya adalah persepakatan.
Bagaimana bisa demikian?
Saya berbeda pendapat dengan anda dalam satu masalah dari sekian banyak masalah karena indikasi dari dalil yang ada pada anda berbeda dengan yang ada pada pendapat saya.Realitasnya, kita bukan berbeda pendapat sebab pendapat kita diambil berdasarkan asumsi bahwa inilah indikasi dari dalil tersebut. Jadi, indikasi dari dalil itu ada di depan mata kita semua dan masing-masing kita tidak mengambil pendapatnya sendiri saja melainkan karena menganggapnya sebagai indikasi dari dalil. Karenanya, saya berterima kasih dan memuji anda karena anda telah berani berbeda pendapat dengan saya. Saya adalah saudara dan teman anda sebab perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari indikasi dari dalil yang menurut anda, sehingga wajib bagi saya untuk tidak menyimpan sesuatu ganjalan pun di hati saya terhadap anda bahkan saya memuji anda atas pendapat anda tersebut, demikian juga halnya dengan anda. Andaikata masing-masing kita memaksakan pendapatnya untuk diambil pihak lain, niscaya pemaksaan yang saya lakukan terhadapnya agar mengambil pendapat saya tersebut, tidak lebih utama dari sikap pemaksaan yang sama yang dilakukannya terhadap saya. Oleh karena itu, saya tegaskan: Wajib bagi kita menjadikan perbedaan pendapat yang dibangun atas suatu ijtihad bukan sebagai perpecahan, tetapi persepakatan sehingga terjadi titik temu dan kebaikan dapat diraih.
Akan tetapi, bila ada yang berkata;"Bisa jadi solusi seperti ini tidak mudah direalisasikan oleh kalangan orang awam, lalu apa solusi lainnya?".
Solusinya, hendaknya para pemimpin kaum dan pemukanya yang meliputi semua pihak berkumpul untuk mengadakan tela’ah dan kajian terhadap beberapa permasalahan yang diper-selisihkan di antara kita, sehingga kita bisa bersatu dan berpadu hati.
Pada suatu tahun pernah terjadi suatu kasus di Mina yang sempat saya dan sebagian saudara saya tangani. Barangkali masalahnya terdengar aneh bagi anda. Ada dua pihak dihadirkan, masing-masing pihak beranggotakan 3-4 orang laki-laki, masing-masing saling menuduh kafir dan melaknat, padahal mereka sedang melaksanakan haji.>
Ceritanya begini; salah satu pihak menyatakan, “Sesungguhnya pihak yang lain itu ketika berdiri untuk melakukan shalat, meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri pada posisi atas dada.” Ini adalah kekufuran terhadap sunnah di mana sunnahnya menurut pihak ini mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha. Sementara pihak yang lain mengatakan, “Sesungguhnya mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha dengan tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri merupakan perbuatan kufur yang membolehkan laknatan.”
Perseteruan di antara mereka sangat tajam. Akan tetapi, berkat anugerah dari Allah subhanahu wata’ala, usaha yang dilakukan sebagian saudara saya itu dibarengi dengan penjelasan mengenai pentingnya perpaduan hati di antara umat Islam, mereka pun mau pergi dari tempat itu dan masing-masing mereka akhirnya saling ridho..
Lihatlah, betapa syaithan telah mempermainkan mereka di dalam masalah yang mereka perselisihkan ini sampai kepada taraf saling mengafirkan satu sama lainnya. Padahal sebenarnya ia hanyalah salah satu amalan sunnah, bukan termasuk rukun Islam, bukan juga fardlu atau wajibnya. Inti dari permasalahan itu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meletakkan tangan di atas tangan kiri pada posisi di atas dada adalah sunnah hukumnya, sementara ulama yang lain menyatakan bahwa sunnahnya adalah mengulur tangan ke bawah.
Padahal pendapat yang tepat dan didukung oleh as-Sunnah (hadits) adalah meletakkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa'd radhiyallau ‘anhu, dia berkata, "Dulu orang-orang diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kirinya di dalam shalat". Saya memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menganugerahkan perpaduan hati, kecintaan dan kelurusan hati kepada saudara-saudara kami yang memiliki manhaj tersendiri di dalam sarana berdakwah. Bila niat sudah betul, maka akan mudahlah solusinya.
Sedangkan bila niat belum betul dan masing-masing di antara mereka berbangga diri terhadap pendapatnya serta tidak menghiraukan pendapat yang lainnya, maka semakin jauhlah upaya mencapai kesuksesan . Catatan penulis: Bila perbedaan pendapat itu terjadi pada masalah-masalah 'AQIDAH, maka hal itu wajib dibetulkan. Pendapat apa saja yang berbeda dengan madzhab Salaf, wajib diingkari dan diberikan peringatan terhadap orang yang meniti jalan yang menyelisihi madzhab salaf tersebut pada sisi ini.(Sumber: Fatâwa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn, Dâr 'Alam al-Kutub, Riyadh 1991, Cet. I, juz. II, hal. 939-944, dengan meringkas.)
by Ym Nikmohdkamal Tydpmqtk on Wednesday, March 23, 2011 at 10:33am Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang keanekaragaman jama'ah-jama'ah Islamiyah yang tak jarang di antara mereka saling menerapkan bara' (berlepas diri), dan juga sikap yang harus diambil ketika terjadi perbedaan pendapat. Beliau memberikan penjelasan sebagai berikut: Tidak dapat disangkal lagi bahwa perpecahan, saling memvonis sesat, permusuhan, dan kebencian yang terjadi di kalangan para pemuda yang komitmen, sebagian terhadap sebagian yang lainnya yang tidak sepaham dengan manhaj masing-masing, adalah suatu hal yang menyedihkan dan sangat disayang-kan, bahkan bisa jadi menimbulkan dampak yang serius.
Perpecahan seperti ini ibarat penyejuk mata hati para syaithan dari bangsa jin dan manusia, sebab mereka tidak menyenangi apabila ahli kebajikan bersatu. Mereka menginginkan ahli kebajikan tersebut berpecah-belah karena mereka (para syaithan tersebut) mengetahui bahwa perpecahan akan meluluhlantakkan kekuatan yang dihasilkan oleh sikap komitmen dan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Hal ini telah disinyalir oleh beberapa firman-Nya, artinya,
"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu". (Q.S. Al-Anfal: 46).
"Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka". (Q.S. Ali 'Imran: 105)
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka". (Q.S. Al-An'am: 159)
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.". (Q.S. Asy-Syuro: 13)
Allah subhanahu wata’ala telah melarang kita berpecah-belah dan menjelaskan tentang akibatnya yang sangat buruk. Sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk menjadi umat yang bersatu dan satu kata (bersepakat). Perpecahan hanyalah akan merusak dan meluluh lantakkan urusan serta mengakibatkan lemahnya umat Islam. Di antara para shahabat pun terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi hal itu tidak menimbulkan perpecahan, permusuhan dan kebencian. Bahkan perbedaan pendapat itu terjadi pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.
Sepulang beliau dari perang Ahzab (Khandaq), ketika itu, Jibril datang dan memerintahkannya agar bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah sebab mereka telah membatalkan perjanjian.
Beliau lalu bersabda kepada para shahabatnya, "Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat 'Ashar kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah".
Mereka pun bergerak dari Madinah menuju perkampungan Bani Quraizhah, sementara waktu 'Ashar pun sudah tiba, lalu sebagian mereka berkata, "Kita tidak boleh melakukan shalat, melainkan di perkampungan Bani Quraizhah meskipun matahari sudah terbenam sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat 'Ashar melainkan (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah", karenanya kita harus mengatakan, “Sami'nâ wa atha'nâ” (Kami dengar dan kami patuh).
Sebagian mereka yang lain berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud agar kita bergegas dan bergerak -cepat keluar, dan bukan bermaksud agar mengakhirkan shalat".
Perihal tersebut kemudian sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau tidak mencerca salah seorang pun di antara mereka, tidak pula mencemooh pemahaman mereka. Jadi, mereka sendiri tidak berpecah-belah hanya karena berbeda pendapat di dalam memahami hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Demikian juga dengan kita, wajib untuk tidak berpecah-belah dan menjadi umat yang bersatu. Sedangkan bila yang terjadi justru perpecahan, maka bahayanya sangat besar. Optimisme yang kita harapkan dan cita-citakan dari kebangkitan Islam ini akan menjadi sirna, manakala kita mengetahui bahwa ia hanya akan dimiliki oleh kelompok-kelompok yang berpecah-belah, satu sama lain saling memvonis sesat dan mencela.
Solusi dari problematika ini adalah hanya dengan meniti jalan yang telah ditempuh oleh para shahabat, mengetahui bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad ini adalah dalam taraf masalah yang masih bisa ditolerir berijtihad di dalamnya dan mengetahui bahwa perbedaan pendapat ini tidak berpengaruh bahkan ia sebenarnya adalah persepakatan.
Bagaimana bisa demikian?
Saya berbeda pendapat dengan anda dalam satu masalah dari sekian banyak masalah karena indikasi dari dalil yang ada pada anda berbeda dengan yang ada pada pendapat saya.Realitasnya, kita bukan berbeda pendapat sebab pendapat kita diambil berdasarkan asumsi bahwa inilah indikasi dari dalil tersebut. Jadi, indikasi dari dalil itu ada di depan mata kita semua dan masing-masing kita tidak mengambil pendapatnya sendiri saja melainkan karena menganggapnya sebagai indikasi dari dalil. Karenanya, saya berterima kasih dan memuji anda karena anda telah berani berbeda pendapat dengan saya. Saya adalah saudara dan teman anda sebab perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari indikasi dari dalil yang menurut anda, sehingga wajib bagi saya untuk tidak menyimpan sesuatu ganjalan pun di hati saya terhadap anda bahkan saya memuji anda atas pendapat anda tersebut, demikian juga halnya dengan anda. Andaikata masing-masing kita memaksakan pendapatnya untuk diambil pihak lain, niscaya pemaksaan yang saya lakukan terhadapnya agar mengambil pendapat saya tersebut, tidak lebih utama dari sikap pemaksaan yang sama yang dilakukannya terhadap saya. Oleh karena itu, saya tegaskan: Wajib bagi kita menjadikan perbedaan pendapat yang dibangun atas suatu ijtihad bukan sebagai perpecahan, tetapi persepakatan sehingga terjadi titik temu dan kebaikan dapat diraih.
Akan tetapi, bila ada yang berkata;"Bisa jadi solusi seperti ini tidak mudah direalisasikan oleh kalangan orang awam, lalu apa solusi lainnya?".
Solusinya, hendaknya para pemimpin kaum dan pemukanya yang meliputi semua pihak berkumpul untuk mengadakan tela’ah dan kajian terhadap beberapa permasalahan yang diper-selisihkan di antara kita, sehingga kita bisa bersatu dan berpadu hati.
Pada suatu tahun pernah terjadi suatu kasus di Mina yang sempat saya dan sebagian saudara saya tangani. Barangkali masalahnya terdengar aneh bagi anda. Ada dua pihak dihadirkan, masing-masing pihak beranggotakan 3-4 orang laki-laki, masing-masing saling menuduh kafir dan melaknat, padahal mereka sedang melaksanakan haji.>
Ceritanya begini; salah satu pihak menyatakan, “Sesungguhnya pihak yang lain itu ketika berdiri untuk melakukan shalat, meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri pada posisi atas dada.” Ini adalah kekufuran terhadap sunnah di mana sunnahnya menurut pihak ini mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha. Sementara pihak yang lain mengatakan, “Sesungguhnya mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha dengan tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri merupakan perbuatan kufur yang membolehkan laknatan.”
Perseteruan di antara mereka sangat tajam. Akan tetapi, berkat anugerah dari Allah subhanahu wata’ala, usaha yang dilakukan sebagian saudara saya itu dibarengi dengan penjelasan mengenai pentingnya perpaduan hati di antara umat Islam, mereka pun mau pergi dari tempat itu dan masing-masing mereka akhirnya saling ridho..
Lihatlah, betapa syaithan telah mempermainkan mereka di dalam masalah yang mereka perselisihkan ini sampai kepada taraf saling mengafirkan satu sama lainnya. Padahal sebenarnya ia hanyalah salah satu amalan sunnah, bukan termasuk rukun Islam, bukan juga fardlu atau wajibnya. Inti dari permasalahan itu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meletakkan tangan di atas tangan kiri pada posisi di atas dada adalah sunnah hukumnya, sementara ulama yang lain menyatakan bahwa sunnahnya adalah mengulur tangan ke bawah.
Padahal pendapat yang tepat dan didukung oleh as-Sunnah (hadits) adalah meletakkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa'd radhiyallau ‘anhu, dia berkata, "Dulu orang-orang diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kirinya di dalam shalat". Saya memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menganugerahkan perpaduan hati, kecintaan dan kelurusan hati kepada saudara-saudara kami yang memiliki manhaj tersendiri di dalam sarana berdakwah. Bila niat sudah betul, maka akan mudahlah solusinya.
Sedangkan bila niat belum betul dan masing-masing di antara mereka berbangga diri terhadap pendapatnya serta tidak menghiraukan pendapat yang lainnya, maka semakin jauhlah upaya mencapai kesuksesan . Catatan penulis: Bila perbedaan pendapat itu terjadi pada masalah-masalah 'AQIDAH, maka hal itu wajib dibetulkan. Pendapat apa saja yang berbeda dengan madzhab Salaf, wajib diingkari dan diberikan peringatan terhadap orang yang meniti jalan yang menyelisihi madzhab salaf tersebut pada sisi ini.(Sumber: Fatâwa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn, Dâr 'Alam al-Kutub, Riyadh 1991, Cet. I, juz. II, hal. 939-944, dengan meringkas.)
Monday, February 21, 2011
Ikhlas
Tentu kita sering mendengar orang menyebut-nyebut kata ikhlas. Namun banyak orang yang tidak memahami apa sebenarnya hakekat dari istilah ”ikhlas” ini. Untuk lebih jelasnya mungkin bisa kita lihat dari kisah berikut ini :
Rasulullah Saw. Menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis. Suasana sangat hening. Tiba-tiba ada seorang hadirin yang berkata, ”Ya Rasulullah, bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah kiranya engkau menjawabnya.” Apa yang hendak engkau tanyakan itu?” tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang, si sahabat itu pun bertanya, ”Siapakah di antara kami yang akan menjadi ahli surga?.”
Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ’ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’ dan tidak sedikit yang murka. Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah rasulullah Saw. menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.
Rasulullah menatap ramah. Beliau menjawab dengan tenangnya, ”Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orang itu akan muncul.” Lalu, setiap mata menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah sebagai ahli surga itu.
Namun, manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan semakin bertambah. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana. Ia adalah wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat rasulullah.
Apa kehebatan pemuda ini? Setiap sahabat penasaran menunggu penjelasan rasululllah Saw. Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah Saw bersabda, ”Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridha Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya.”
Bagai duri tajam yang menusuk dada, semua yang hadir tersentak. Ikhlas, alangkah indahnya makna yang terkandung di dalamnya. Ikhlas bersih dari segala maksud pribadi, dari segala pamrih dan riya’, mengharap pujian dari orang, bebas dari perhitungan untung rugi material. Ikhlas bersih dari segala hal yang tidak disukai Allah. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai pencipta, pemilik, pemelihara, dan penguasa alam raya. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai satu-satunya zat yang diharapkan, ditakuti, dicintai, diikuti. Satu-satunya zat yang diabdi dan disembah. Ikhlas menerima Muhammad Saw. sebagai teladan, penjelas, penyampai risalah Islam yang sempurna, dan ikhlas menerima Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dalam sebuah hadis lain Rasulullah bersabda, ''Ana madiinatul ilmi (sayalah kota segala ilmu). Tetapi, ada satu pertanyaan, yang Rasullullah tidak langsung menjawabnya. ”Apa gerangan pertanyaan itu sehingga Rasulullah harus meminta waktu, mengernyitkan kening dan memeras otak?” ''Wahai Baginda Rasul apa yang dimaksud dengan ikhlas?”, tanya seorang sahabatnya.
Setelah berdiam, Rasulullah memusatkan perhatian, dan menyampaikan pertanyaan serupa kepada Malaikat Jibril As. ''Aku bertanya kepada Jibril As tentang ikhlas, apakah ikhlas itu?'' Lalu Jibril bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah SWT menjawab Jibril dengan berfirman, ''Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Ku-cintai.''
Kalau gambaran ikhlas itu sebagaimana diajarkan Allah melalui Jibril yang disampaikan kepada Baginda Rasul tersebut, maka betapa banyaknya di antara kita yang tidak memilikinya. Sebab, hanya hamba-hamba yang dicintai Allah saja yang dapat memiliki ''makhluk'' ikhlas ini. Menurut Imam al-Qusyairi an-Naisabury, bila seseorang memiliki sifat ikhlas, ia akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup, apa yang dilakukan semata-mata untuk Allah meski yang dia perbuat untuk mengurangi penderitaan sesama manusia. Ia akan selalu membantu orang, dengan alasan karena Allah memang Dzat yang senang membantu. Ia akan bekerja kalau Allah yang menjadi tujuannya. Wallahul Hadi.
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu‘alaihi wasallam. Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 66). Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80). Yaitu para saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu). Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena jika engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13)
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya”.
Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108). Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang dibangun karena untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan sampai ada diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid mereka disebut dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang aku lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin mereka, dan sebab berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid adalah yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati…”
syukur
SYUKUR
Syukur adalah perasaan yang terus-menerus akan budi yang baik dan penghargaan terhadap kebajikan, yang mendorong hati untuk mencintai dan lisan untuk memuji. Atau dengan pengertian lain ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya.
Dan syukurnya seorang hamba berkisar atas tiga hal yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka tidaklah dinamakan bersyukur, yaitu : mengakui nikmat dalam batin, membicarakan secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah.
Jadi syukur di sini adalah berkaitan erat dengan hati, lisan dan anggota badan. Hati untuk ma’rifah dan mahabban, lisan untuk memuja dan menyebut nama Allah dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepadaNya.
Syukur adalah perasaan yang terus-menerus akan budi yang baik dan penghargaan terhadap kebajikan, yang mendorong hati untuk mencintai dan lisan untuk memuji. Atau dengan pengertian lain ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya.
Dan syukurnya seorang hamba berkisar atas tiga hal yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka tidaklah dinamakan bersyukur, yaitu : mengakui nikmat dalam batin, membicarakan secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah.
Jadi syukur di sini adalah berkaitan erat dengan hati, lisan dan anggota badan. Hati untuk ma’rifah dan mahabban, lisan untuk memuja dan menyebut nama Allah dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepadaNya.
Sunday, October 25, 2009
Rukun Agama
Agama atau diin menurut bahasa iaitu suatu yang ditaati. Agama juga bermaksud peraturan Tuhan yang mengajak kepada setiap yang berakal sihat untuk menerima segala peraturan yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. untuk mencapai kebahagian hidup didunia dan akhirat.
Agama Islam ertinya: “wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada RasulNya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia untuk seluruh Alam dan berlaku sepanjang masa.”
Agama Islam juga adalah satu system aqidah dan cara yang mengatur segala kehidupan manusia dalam pelbagai hubungan. Baik hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesama manusia ataupun hubungan manusia dengan alam lainnya. Agama Islam bertujuan mencari keridhoaan Allah, rahmat untuk sekelian alam dan menjanjikan kebahggian dunia dan akhirat.
Agama Islam pada garis besarnmya terdiuri dari aqidah, syariah yang meliputi ibadah dalam erti khusus dan muamalah dalam erti luas. Agama Islam bersumberkan Kitab Suci iaitu bersumberkan wahyu Allah yang terakhir penyempurna wahyu-wahyu Allah sebelumnya sebagai pegangan umat Islam.
Rukun Agama terdiri daripada tiga perkara:
- Iman
- Islam dan
- Ihsan
By Perihatin
Subscribe to:
Posts (Atom)