Showing posts with label Kalamullah. Show all posts
Showing posts with label Kalamullah. Show all posts

Tuesday, September 27, 2011

Kalam Allah

Kalam artinya Berkata-kata
 Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
 
 Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.
 
 Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
 
 Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
 
 * Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.
 * Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
 * Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.
 * Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
 * Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).



Tuesday, April 5, 2011

Esensi Al-Qur’an Sebagai Firman Allah
Bila ada seorang lagi melontarkan suatu kata tertentu, maka kita akan melihatnya sedang menggerakan lisannya dengan memakai alat lain yaitu mulut. Gerakan ini dinamakan kata yang terucap(kalam lafdzy), begitu juga kata yang dilontarkan. Terkadang kita juga merangkai kata namun tidak diwujudkan dengan bentuk di atas. merangkai kata ini dinamakan kata hati(kalam al-Nafsi), begitu juga rangkaian katanya.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kalam itu dibagi menjadi dua bagian.pertama, Kalam Lafdzy. Kedua, Kalam Nafsy. Dua pembagian kalam ini terdapat pada dzat yang hadist(Makhluq) dan yang Qadim(khaliq). Namun apakah kalamnya makhluq sama dengan kalamnya khaliq?. Dan apakah al-Quran yang kitabaca sekarang makluq?.
Difinisi Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa adalah Masdar yang searti dengan lafadz Qira’ah(membaca) kemudian dijadikan nama bagi kalam yang ditutrunkan ke Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Lihyani dan kebanyakan ulama. Ada juga yang mengatakan sifat dari lafadz Qar’i dengan arti kumpul, ada juga yang mengatakan bahwa Qur’an itu diambil dari lafadz Qara’in dan Qarana. Namun pendapat ini tidak terlalu tepat, karena terdapat unsur pemaksaan dan dan tidak mengikuti kaidah pengambilan kata(isytiqaq).
Al-Qur’an juga punya nama lain yaitu al-Furqan meninjau eksistensinya sebagai kalam yang dapat memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Dan al-Qura’an sama al-Furqan ini adalah dua nama bagi kalamu al-Allah yang termasyhur. Sementara nama-nama lain, seperti al-Kitab, al-Dzikri dan al-Tanzil DLL semuanya merujuk pada keduanya, sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama Tafsir. Sebenarnya masih banyak nama-nama al-Qur’an selain yang penulis sebutkan di atas, bahkan ada sebagian ulama yang ketelaluan dalam menamainya sampai lebih dari Sembilan puluh nama, sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang kita al-Tibyan.
Sementara difinisi al-Qur’an menurut istilah adalah sifat Qadim yang berhubungan dengan kalimat al-Hukmiyah atau dengan kata lain adalah firman Allah yang tidak memakai huruf dan suara. Difinisi ini adalah difinisi ulama Tauhid(Mutakallimin). Sementara Ulama ushul Fiqih mendifiniskannya sebagai lafadz yang diturunkan kepada Nabi dari awal surat al-fatihah sampai ahir surat an-Nas. Ada juga yang mendifinisikannya sebagai lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang. Difinisi-difinisi di atas tidak ada yang bertentangan karena tinjaunnya adalah pembahasan yang berkaitan dengan setiap apa yang ditekuni para ulama(takhasshus).[1] Mutakallimin membahas tentang sifat Allah dan yang menafikan keberadaan al-Qur’an sebagai makhluk sementara ulama Ushul Fiqih membahas penetapan dalil sebuah hukum(istidlal) yang hubungannya dengan lafadz.
Jibril dan Wahyu
Banyak sekali nash-nash al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah berbicara terhadap para malaikat tanpa pelantara apapun, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 30, al-Anfal ayat 13, al-Dzariyat ayat 4 dan al-Nazi’at ayat 5. Diriwayatkan dari Nuwas Bin Sam’an bahwa rasulullah berkata:
”Bila Allah menghendaki suatu perkara, maka Allah akan berbicara. Semua langit dan seisinya merasa ketakutan, akhirnya mereka semua bersujud pada Allah dan tidak ada yang berani mengangkat kepalanya kecuali Malaikat Jibril. Kemudian Allah menyampaikan padanya perkara yang dikehendaki tersebut dan Jibrilpun menerimanya secara langsung(sima’an). Setelah itu Jibril berjalan mengelilingi langit dan setiap dia ketemu Malaikat dia ditanya perihal firman Allah tadi Jibrilpun menjawabnya, kemudian para malaikat itu berkata bahwa semua yang disampaikan Jibril adalah apa yang disampaikan Allah.”.
Terkait dengan al-Qur’an sebagai Wahyu ada tiga pendapat. Pertama, Jibril menerimanya secara langsung dari Allah(sima’an). Kedua, Jibril menghafalnya dari Lauhi al-Mahfudz. Ketiga, Allah mewahyukan secara makna, sementara lafadzya dari Jibril atau dari Muhammad SAW. Pendapat ketiga ini jelas batilnya meninjau al-Qur’an itu sendiri, karena di sana ada hadit Qudsi yang kebanyakan ulama’ sepakat sebagai wahyu dari Allah namun secara makna sementara lafadzya dari Rasul sendiri.

wahyu

Ada dua model Rasulullah menerima wahyu dari Allah. 
Pertama, langsung dari Allah. 
Kedua, melalui pelantaraan malaikat. 
Wahyu yang secara langsung ini terkadang berbentuk sebuah mimpi nyata dan kalam ilahi dari di belakang layar(wara’a hijab) seperti wahyu yang turun pada Rasulullah di malam Isra’ dan Mi’raj. Pelentara yang disebutkan di sini bisa berbentuk kekuatan suara yang terkadang berupa kepakan sayap malaikat atau deringan bel(shalshalatu al-Jarras) sebagai tanda, sehingga Rasul bisa bersiap-siap menerima wahyu tersebut. Terkadang Malaikat Jibril mendatangi Rasul secara langsung dengan bentuk manusia, sebagaimana dalam hadis yang menjelaskan tentang Iman, Islam dan Ihsan.

Al-Qur’an Dan Firman Allah
Bicara tentang firman Allah berarti berbicara tentang difinisi-difinisi di atas, yaitu kalam yang Qadim yang tidak menggunakan suara dan huruf, lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang, atau lafadz yang diturunkan pada Rasulullah dari awal surat al-Fatihah sampai akhir al-Nas yang juga kita kenal dengan Mushaf di masa sekarang. Dua difinisi ini sama-sama dikatakan al-Qur’an. Namun yang kedua hanya bukti dari firman Allah tersebut(dilalah yang ditunjukannya sama dengan dilalah kalamullah yang Qadim) bukan firman Allah itu sendiri, karena karena firman Allah itu Qadim sementara bukti(al-Qur’an yang kita kenal sekarang) itu baru(baru). Namun walaupun begitu bukti tadi tetap dikatakan al-Quran dan bukan makhluk karena mengindikasikan firman yang Qadim sebagaimana yang disebutkan imam Sanusi dalam kitabnya”Hasyiyatu al-Sanusi”. Diriwayatkan bahwa Siti Aisyah pernah berkata”Lukisan yang berada di setiap lemabar atau Mushaf yang kita kenal sekarang adalah firman Allah(kalamullah) dengan artian diciptkan oleh Allah(makluqun lahu) bukan manusia”. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk mengatkan al-Qur’an itu makluk lebih-lebih kalau harus meremehkannya sebagaimana kejadian yang pernah dilakukan oleh sebagian dosen di Surabaya di IAIN Surabaya. Untuk lebih membuktikan kemulyaan al-Qur’an tersebut ada pertanyaan dari penulis yang bisa kita renungkan sendiri”Apa yang kita rasakan bila kita punya karangan atau mengatakan sesuatu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian tulisan diremehkan oleh seseorang dengan diinjaknya atau dengan model peremehan yang lain?”. ini adalah bukti keterkaitan al-Qur’an yang kita kenal sekarang dengan kalamullah al-Qadim tersebut.

untuk lebih membuktikan lagi keberadaan al-Qur’an sebagai kalamullah dan murni dari Allah secara lafadz dan makna adalah apa yang riwayatkan imam Suyuti dari imam Juwaini bahwa beliau membagi firman Allah menjadi dua bagian. Pertam, Allah memerintah malaikat Jibril untuk menyampaikan sesuatu pada Nabi seraya berkata”Hai Jibril katakana pada Nabi” sesungguhnya Allah memerintahkan ini dan itu”. Kemudian Jibril memahami apa yang diperintahkan Allah dan menyampaikannya pada Nabi, namun bukan dengan redaksi yang dari Allh tersebut. Kedua, perintah Allah pada malaikat Jibril”Hai Jibril Bacakanlah pada Nabi kitab ini kemudian Jibril turun pada Nabi untuk menyampaikan perintah tadi tanpa merubah redaksi yang disampaikan Allah padanya. Setelah itu imam Suyuti mengatakan bahwa al-Qur’an termasuk bagian yang kedua sementara bagian yang pertama adalah hadis Rasul, karena itu boleh meriwayatkan hadis secara makna(al-Riwayah bi al-Ma’na).

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu bisa dikatakan pada al-qur’an yang kita kenal sekarang(al-Alfadz al-Musyarrafah) dan firman Allah yang Qadim, namun kita tetap tidak boleh mengatakan al-Qur’an(al-Alfadz al-Musyarrafah) adalah hadis karena al-Qur’an tersebut mengindikasikan keberadaan firman Allah yang Qadim, sehingga sebagai kesimpulan kita juga tidak bisa mengatakan kalau al-Qur’an itu makluq.

Sunday, April 3, 2011

KALAM
            Adapun sifat wajib bagi ALLah Taala yang ke tiga belas iaitu Kalam. Kalam ertinya berkata-kata. Kalam adalah sifat yang berdiri di atas zat yang diiktibarkan bahawa ia tidak boleh ujud dengan sendirinya melainkan bergantung kepada ujud zat.

            Sifat Kalam adalah sifat yang ujudiah yang berdiri dengan zat tanpa wasilah suara, alat seperti mulut dan lidah, dan tanpa bantuan sesuatu jua pun. Berkalam ALLah Taala itu dengan zatNya semata-mata.

            Adapun sifat Kalam ALLah Taala itu iaitu sifat menunjuki iaitu perintah dan tegah. Takluk perintah itu iaitu menyuruh kepada kebaikan seperti amal dan taat. Contohnya perintah solat, puasa, berbuat baik sesame makhluk dan lain-lain. Dan takluk tegah itu seperti melarang kepada berbuat kejahatan dan keengkaran kepada perintah. Contohnya pula seperti jangan berzina, jangan syirikkan ALLah, jangan membunuh dan lain-lain.

            Dan takluk sifat Kalam ini kepada yang wajib, yang mustahil dan juga kepada yang harus. Adapun takluk kepada yang wajib itu seperti Firman ALLah Taala bermaksud “Akulah ALLah, tiada Tuhan melainkan aku”. Ertinya ALLah Taala berkata bahawa Dialah Tuhan yang tiada sekutu bagiNya. Dan takluk kepada yang mustahil itu pula seperti FirmanNya bermaksud “Telah berkata Yahudi: ALLah Taala itu fakir (miskin) dan kami yang kaya”. Ertinya ALLah Taala menghikayatkan perkataan orang Yahudi. Dan takluk kepada yang harus pula seperti FirmanNya bermaksud “Dan ALLah menjadikan kamu dan segala apa yang kamu lakukan” ertinya ALLah menyatakan bahawa segala yang harus dari alam adalah ciptaanNya jua.

            Dan takluk Kalam ini kepada patut pada azali. Ertinya ALLah Taala boleh berKalam ALLah Taala kepada sesuatu yang sepatutnya akan dicipta melalui IlmuNya. Dan takluk kepada Ketentuan pada azali yakni boleh berkalam ALLah Taala kepada sesuatu yang sudah ditentukan untuk dicipta. Dan takluk kepada setelah dicipta yakni seperti mewahyukan al-Quran kepada Nabi dan Rasul-Rasull.

Kalam nafsi dan Kalam lafdzi
            Untuk memahami sifat Kalam ini, sangatlah penting untuk difahami apakah maksud kalam nafsi dan kalam lafdzi. Kerana dua istilah telah menimbulkan fitnah dan mehnah yang cukup dahsyat dalam sejarah Islam. Imam Ahmad bin Hanbal telah menjadi mangsa kerana salah faham tentang apakah hakikat al-Quran itu makhluk atau Qadim.

            Adapun Kalam Nafsi ini ialah Kalam yang tidak berhuruf dan tidak bersuara yang berdiri pada zat ALLah Taala. Ia Qadim sebagaimana Qadimnya zat itu. Jika Kalam nafsi ini tidak berhuruf dan tidak bersuara, bagaimanakah pula ia dikatakan sebagai Kalam? Bukankah Kalam itu adalah berkata-kata? Inilah yang sangat tidak difahami oleh kebanyakan orang kerana mereka tidak mahir mengambil ibarat dalam memahami Tauhid. Kalam Nafsi ini diibaratkan sebagai sesuatu yang difikirkan mahu dicakap oleh kita manusia. Sebelum kita bercakap tentunya kita akan memikirkan dan menentukan di dalam kotak fikiran apakah perkaranya yang mahu dicakapkan itu. Ketika ini perkara itu masih dalam pemikiran dan penentuan kita, dan belum jadi perkataan. Ertinya sesuatu itu masih dalam maksud yang umum yang masih dalam pengetahuan kita. Inilah maksud Kalam Nafsi. 

            Kemudian Kalam Nafsi pada zat ALLah Taala itu diciptakan oleh ALLah Taala sebagai huruf. Di dalam huruf-huruf Kalam itulah terkandung segala maksud dan makna ilmu ALLah Taala yang tidak terhingga dalamnya, yang tidak terjangkau oleh akal.  Dan diciptakan pula suatu yang dinamakan Luh Mahfudz yang bererti papan yang terpelihara. Firman ALLah Taala bermaksud “Bahkan ia adalah Quran yang mulia pada papan yang terjaga”. Dan kemudian  ALLah Taala menghantarkan huruf-huruf Kalam itu ke Luh Mahfudz itu untuk disimpan. Dari Luh Mahfudz itu pula ALLah Taala memerintahkan Malaikat Israfil mengambil maksud-maksud Kalam itu ke Baitul Izzah yakni suatu tempat yang dinamakan rumah yang mulia. Firman ALLah Taala bermaksud “Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Quran itu pada malam yang berkah”. Dan satu Malaikat yang dinamakan Saprah menjadikan huruf dan  maksud itu sebagai kalimah untuk diturunkan kepada Nabi Muhammad Sallallahua alaihi wasallam dengan perantaraan Jibril secara beransur-ansur. Firman ALLah Taala bermaksud “Sesungguhnya telah Kami turunkan Quran itu pada malam Qadr”.

            Kalam Lafdzi adalah Kalam yang telah dijadikan kalimah dan diturunkan kepada Nabi-Nabi itu bermula dari Malaikat Saprah menjadikan huruf dan maksud Kalam Lafdzi itu menjadi kalimah atau ayat. Itulah yang dinamakan kitab samada al-Quran, Injil, Taurat dan Zabur. Ia hanyalah lafadz pada lughah bahasa manusia. Ertinya Kalam Nafsi lughah Arab ialah al-Quran, Kalam nafsi lughahnya Ibrani dinamakan Taurat, lughah Qibti dinamakan Zabur dan lugahah Suryani dinamakan Injil. Semuanya itu pada istilah bagi menghuraikan maksud Kalam Nafsi pada zat ALLah Taala jua. Inilah ibarat untuk menghampirkan kefahaman kita manusia tentang hakikat sifat Kalam ALLah Taala. Sesungguhnya ia semata-mata tamthil dan Maha Suci ALLah Taala dari dibandingkan dengan makhluk.

Penjelasan hukum Kalam Nafsi dan Lafdzi, dengan musyhaf
            Adapun sepakat Ahlussunnah Waljaama’ah mengatakan al-Quran adalah Qadim. Haram mengatakan al-Quran itu baharu kerana ditakuti memberi waham baharu sifat ALLah Taala yang berdiri pada zat itu.

            Mengapakah dikatakan al-Quran itu Qadim? Mungkin akan ada bantahan mengatakan ia baharu kerana lafadznya sudah menjadi lafdzi, sedangkan dikatakan bahawa yang Qadim ialah Kalam Nafsi yang Qadim sebagaimana Qadimnya zat. Maka hendaklah difahami dan diteliti hubungan Kalam lafdzi dan Kalam nafsi seperti aygn telah dijelaskan dengan contoh di atas. Keqadiman Kalam ini adalah dilihat kepada hakikatnya. Hakikat Kalam nafsi pada zat ALLah Taala dan lafdzi al-quran adalah sama. Ertinya nafsi pada zat adalah untuk hakikat sebelum di ujudkan lafdzi al-Quran. Contoh mudah ialah sebelum ALLah menyatakan diriNya ALLah secara lafdzi al-Quran, hakikatnya sudah ada pada zatNya iaitu nafsi. Maka lafdzi itu adalah pernyataan atau pentajalian nafsi itu. Tamthil mudah ialah umpama orang yang menyurat di atas kertas, lafdzinya di atas kertas dari asalnya nafsi di dalam pemikirannya. Maka atas hakikat ini, hukum al-Quran itu Qadim yakni lafdzinya itu.

            Namun jangan silap mengatakan musyhaf itu juga Qadim. Tidak, musyhaf tidak Qadim kerana musyhaf adalah sebuah kitab yang terdiri dari kertas yang dijilidkan. Musyhaf ini tidak termasuk dalam pembicaraan hakikat Kalam. Ia hanya tempat menyurat Kalam lafdzi sahaja. Dan tidak sekali-kali masuk Kalam nafsi itu ke dalam musyhaf dan tidak akan bercerai sekali-kali dengan zat ALLah Taala. Kalam lafdzi itu semata-mata majaz Kalam nafsi. Dan perbezaan lafadz itu menunjukkan hakikat yang satu juga, umpama ibu dalam bahawa melayu, mother dalam bahasa Inggeris, ummi dalam bahasa Arab dan sebagainya. Ia menunjukkan satu peribadi wanita yang melahirkan anak.
            Dan lagi tidaklah orang yang membaca al-Quran itu dikatakan berKalam dengan Kalam ALLah. Contohnya jika seseorang memaca ayat “Akulah ALLah, sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Aku” tidaklah hukumnya dia berKalam dengan KAlam ALLah Taala yang nafsi. Dan tidaklah bercerai Kalam nafsi ALLah Taala dan berpindah kepada orang yang membaca itu.

            Dan orang yang berkata al-Quran itu makhluk adalah fasik tetapi tidak kafir.

Tribulasi Imam Ahmad Ibn Hanbal
            Kaum yang mengatakan dan berikitqad al-Quran adalah makhluk ialah kaum Mu’tazilah. Mereka berhujah apabila nafsi telah menajdi lafdzi maka ia telah baharu. Ia bertentangan dengan hujah Ahlussunnah Waljaama’ah. Pemuka ulamanya ialah Ahmad bin Abi Daud, berdalilkan Firman ALLah Taala bermaksud “Bahawa Kami jadikan al-Quran itu dalam bahasa Arab”, maka apabila telah menjadi bahasa manusia ia baharu.

            Khalifah al-Ma’mun ketika itu menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi. Dan ia memaksakan rakyat menganuti iktiqad al-Quran adalah makhluk. Namun Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Ahmad bin Nadzir dan seorang lagi menentang dan menyeru rakyat menolak iktiqad sesat itu.

            Mati al-Ma’mun dan diganti oleh saudaranya al-Mu’tasim. Diriwayatkan Imam Ahmad dipukul sebanyak lima belas kali dan dikatakan satu pukulan boleh membunuh seekor unta. Namun karomah aulia’ ALLah menjadi penahan kematian Imam Ahmad. Apabila dipukul putus tali seluarnya dan memandang ia ke langit sambil terketar menahan kesakitan hingga tidak sempurna tasbihnya. Apabila penentangan rakyat mula memuncak, khalifah membebaskannya.

             Mati al-Mu’tasim diganti al-Wathik. Imam Ahmad bin Nadhir mati dipancung dan kepalanya digantung untuk tuntunan umum. Namun pada maalmnya didengar orang kepala itu bertahlil Laa iLaaha ILLaLLah. Seorang lagi ulama rakan mereka menyerah kerana tidak tahan siksaan.

            Mati al-Wathik diganti oleh al-Mutawakkil. Dengan nasihat seorang ulama Abdul Aziz bin Yahya, al-Mutawakkil insaf. Dicelanya kelakuan saudara-saudaranya yang zalim dahulu itu. Dibebaskannya Imam Ahmad dan dimuliakannya dan diberinya hadiah, namun Imam Ahmad tidak menerimanya.


Pertunjuk Imam Syafi’e
            Imam Syafi’e pernah bermimpi bertemu RasuluLLah Sallahu alaihi wasallam. RasuluLLah telah menyatakan akan berlaku fitnah hebat al-Quran makhluk dan ia melibatkan Imam Ahmad bin Hanbal. Maka hendaklah ia jangan tunduk dengan fitnah itu. Mimpi ini diberitahu oleh Imam Syafi’e kepada Imam Ahmad bin Hanbal melalui surat. Maka tidak hairanlah Imam Ahmad mempertahankan iktiqad al-Quran itu Qadim bukan makhluk walaupun nyawanya hampir melayang. Maka berkata ulama muhaqqiqin bahawa imam Ahmad dikurniakan ALLah maqam yang tinggi di sisi ALLah Taala seumpama maqam Nabi-Nabi. kerana itu Imam Syafi’e mengambil dan menyimpan baju yang koyak-koyak akibat sebatan di tubuh Imam Ahmad, dibasahkan dengan air dan diminumnya, dan apabila sakit sahabatnya diminumkan dengan air rendaman baju itu. Maka sembuh sakitnya dengan izin ALLah Taala.

            Berkata sufi Basyir al-Khafi: “Tiada lelaki yang terlebih teguh memegang perkataannya (iktiqad) dalam fitnah al-Quran makhluk melainkan Ahamd bin Hanbal. Maka diberikannya maqam anbia’ ”.
            Seorang telah berjumpa Imam Ahmad bin Hanbal di dalam mimpinya lalu ditanya apakah yang diperbuat ALLah Taala kepada Imam Ahmad. Jawab Imam Ahmad, “diampunkan ALLah bagiku dan diizinkan ALLah dapat aku melihat zat ALLah itu”.

Dalil sifat Kalam bagi ALLah Taala
            Adapun dalil naqli bersifat ALLah Taala dengan sifat Kalam iaitu FirmanNya bermaksud “Telah berkata-kata ALLah Taala dengan Musa dengan perkataan yang sempurna”.
            Adapun dalil akli, jika tidak berkata-kata ALLah Taala maka jadilah Dia bisu. Bisu adalah sifat kekurangan dan sifat makhluk. Maka mustahil Tuhan bisu. Jika Tuhan bisu maka Dia tidak layak diangkat menjadi Tuhan.

 


CROWN D'RAJA PERTUBUHAN MQTK QuranSunnahIslam..

........free counters ..............................................................................“and I have come to you with a SIGN FROM YOUR LORD, so fear Allah and OBEY ME! Truly Allah is my Lord and your Lord. Therefore submit to HIM! This is A STRAIGHT PATH" (maryam 19:36)