Saturday, April 9, 2011

AL-HALLAJ: SANG SYUHADA AGUNG

Al-Ustadz Santrie


Baghdad – 24 Dzul-Qa’idah 309 H./922 M.
Pagi itu, para saksi mengatakan, matahari seperti enggan menampakkan cahayanya. Udara mendung. Dingin. Awan hitam berarak ditiup angin kencang, bergumpal-gumpal. Namun, semua itu tak menghalangi langkah ribuan orang yang berduyun-duyun menuju alun-alun kota.
Dari arah menjara, sepasukan berkuda menyeruak kerumunan orang yang berdesakan itu. Mereka menyeret seseorang yang terikat kuat. Langsung menggelandangnya ke alun-alun.
Di tengah alun-alun kota Baghdad itu telah siap sebuah panggung. Di atasnya berdiri tiang-salib gantungan (niqniq) menghadap kerumunan orang. Dan, di situ telah kumpul beberapa pejabat istana: wazir, kepala pasukan, mufthi kerajaan, dan algojo dengan pedang di tangannya.
Begitu sampai, pasukan berkuda itu menyerahkan sang pesakitan ke tangan algojo, yang langsung membuka ikatannya. Wazir menanyai permintaan terakhirnya. Namun, sang pesakitan hanya tersenyum. Matanya jelalatan ke arah orang-orang yang menyemut di bawah panggung. Tiba-tiba dia berseru ke seseorang, dekat panggung itu:
“Ya Abu Bakr (nama panggilan Syibli, tokoh sufi zaman itu), apa kau bawa sajadah?”
Orang yang diserunya menyahut: “Benar, aku bawakan untukmu!”
“Kalau begitu, cepatlah! Bentangkan di panggung ini…!” seru sang pesakitan lagi. Lalu, orang itu melemparkan sajadahnya, pas terhampar menghadap kiblat (Baitullah, Ka’bah).
Dalam kesaksiannya, antara lain dari Ibrahim ibnu’l-Fatik, tercatat sebagai berikut:
Begitu sajadah terbentang, Al-Hallaj (sebutan sang pesakitan) langsung mendirikan shalat dua raka’at, sementara aku berada dekatnya. Pada raka’at pertama, setelah Al-Fatihah, dia membaca ayat (Al-Baqarah, 2: 155-157), “Akan Kami coba kamu dengan sesuatu, baik dari rasa takut, lapar, atau kurang, dari hal harta, diri, juga buah-buahan; tetapi sampaikan kabar gembira buat orang yang sabar. (Yaitu) orang yang kalau ditimpakan kepadanya musibah, mereka mengatakan, ‘Sungguh, ini semua kepunyaan Allah, dan kepada Allah semua ini kembali.’ Merekalah yang mendapat shalawat dari Tuhannya, juga rahmat; dan merekalah yang memperoleh hidayah…”
Pada raka’at kedua, setelah Al-Fatihah, dia membaca ayat (Ali ‘Imran, 3: 185), “Setiap jiwa akan merasakan mati, dan pada Hari Kebangkitan (Qiyamat)-lah akan disempurnakan-Nya semua pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka, dan dimasukkan ke surga, sesungguhnya dialah yang beruntung. Kehidupan dunia ini tak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya…”
Usai salam, dia – yang tak lain dari Al-Hallaj, Sang Syuhada (Martyr) paling kontroversial dalam sejarah tasawuf Islam – melantunkan doa, di antaranya: “Wahai, Kekasih-Setiaku (ya Tsiqati), ampuni mereka yang menghukumku, karena mengira, dengan begitu mereka membela agama-Mu… Aah, seandainya Kau singkapkan kepada mereka apa yang Kau singkapkan kepadaku, tentu mereka tak berbuat ini. Dan, seandainya Kau sembunyikan dariku apa yang Kau sembunyikan dari mereka, tentu aku pun tak sanggup menanggung derita ini. Kepujianlah untuk-Mu atas apa yang Kau takdirkan (qudrah), dan kepujianlah untuk-Mu atas apa yang Kau kehendaki (iradah)…”
Suasana hening. Tenggelam dalam lantunan doa – yang menggaung ke langit, menembus ‘Arasy-Nya. Lalu, sepertinya selaksa malaikat turun ke bumi, menggemakan “Amiiin…!” Dalam sekejap, tapi hanya sekejap, cahaya matahari menerobos gumpalan awan. Langsung menerangi panggung. Namun, sekejap kemudian mendung kembali menghitam. Menutup sang fajar dalam perkabungan alami. Dan, seketika itu algojo menggerung, dengan beringas ditariknya Al-Hallaj ke tiang-salib gantungan. Suasana hening pun pecah. Hiruk-pikuk jeritan bercampur umpatan.
Maka, inilah saat yang paling dramatis dalam sejarah tasawuf. Sang algojo (Abul-Harits) mengikat dan memaku kedua tangan serta kaki Al-Hallaj pada tiang-salib gantungan. Kemudian, satu-satu tangan dan kaki Al-Hallaj dipancung dengan pedangnya, sekali tebas. Tubuh yang kutung itu terguling bersimbah darah. Namun, sang algojo kembali menariknya dengan menjambak rambutnya, dan mengikatnya di tiang-salib gantungan semula. Suasana makin hiruk-pikuk, gemuruh dengan jeritan dan umpatan orang-orang yang terus menyemut di sekeliling panggung penyaliban itu.
(Saksi lain melaporkan, ketika itu tak sedikit yang pingsan. Kerusuhan pun nyaris terjadi, karena ada sekelompok orang – mungkin murid-murid atau sahabat-sahabat Al-Hallaj – yang berusaha merangsek dan menyerbu ke panggung, sehingga ada yang terinjak dan meninggal dunia.)
Dari bawah panggung, Syibli – yang tadi menghamparkan sajadah buat Al-Hallaj – lantang berteriak: “Ya Husain bin Manshur (nama panggilan Al-Hallaj), katakanlah.., apa makna ke-syahid-an ini?”
Di tiang-salib gantungannya, Al-Hallaj yang terikat dengan tubuh kutung itu membuka matanya dan tersenyum, lalu berseru: “Ya sahabat,
maqam terendah ke-syahid-an adalah apa yang kau saksikan sekarang ini. Dan, maqam tertingginya tak bakal kau sanggup menjangkaunya…!”
Belum habis kata-kata itu terucap, sang algojo kembali menebaskan pedangnya. Langsung ke leher sang syuhada. Maka, muncratlah darah dari urat-leher itu. Menyembur ke seantero panggung. Membentuk gambaran hati (qalbu) dalam 74 – atau, ada juga yang melaporkan 84 – tetes. Konon, dari masing-masing tetes itu tiba-tiba berkumandang dzikir:
“Allah-Hu.., Allah-Huu..., Allah-Huuu....!

No comments:

CROWN D'RAJA PERTUBUHAN MQTK QuranSunnahIslam..

........free counters ..............................................................................“and I have come to you with a SIGN FROM YOUR LORD, so fear Allah and OBEY ME! Truly Allah is my Lord and your Lord. Therefore submit to HIM! This is A STRAIGHT PATH" (maryam 19:36)