Pembahasan tentang Dunia Melayu secara keseluruhan, tidak mungkin tanpa menyertakan wilayah Patani sebagai salah satu bahagian di dalamnya. Secara sejarah, wilayah Patani sejak awal telah memiliki keberkaitan dengan dunia Melayu, baik dalam bidang sosial, politik, perdagangan, ataupun kesusasteraan dan budaya.
Patani, yang secara geografis terletak di pesisir timur wilayah Selatan Thailand ini, sebelumnya pernah menjadi salah satu pusat kerajaan Melayu, dan hingga kini, sisa-sisa kejayaannya tersebut masih kelihatan, terutama kerana komuniti Muslim Melayu di Patani masih menggunakan bahasa Melayu (dialek Yawi/Jawi) dalam kehidupan seharian mereka.
Penggunaan bahasa Melayu ini nampaknya bukan kerana mereka tidak menguasai bahasa Thai, tetapi lebih merupakan upaya perumusan identiti etnik dan agama, kerana bagi mereka, bahasa Melayu tidak sekadar berfungsi sebagai bahasa ibu (mother tongue) belaka, lebih dari itu, bahasa Melayu adalah juga identiti keberagamaan.
Dalam hal ini, menjadi Melayu berarti menjadi seorang Muslim, kerana bahasa Melayu sangat erat terkait dengan Islam dan berbagai warisan budayanya. Inilah, antara lain, yang membezakan secara jelas Muslim Melayu-Patani dengan komuniti Thai lainnya, baik dalam hal bahasa, adat istiadat, agama, ataupun pola pikir mereka.
Kini, Patani merupakan salah satu dari empat daerah paling selatan di Thailand,
selain Yala, Narathiwat, dan Satun. Sejak awal, keempat daerah ini memang merupakan asas penting komuniti Melayu yang hampir seluruhnya beragama Islam.
Patani sendiri pernah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam, dan—dalam konteks dunia Muslim Melayu—bahkan pernah dijuluki sebagai cradle of Islam. Sebutan ini nampaknya tidak terlalu berlebihan jika melihat kenyataan bahawa sejak dekad pertama abad 18 hingga awal abad 19, Patani telah melahirkan beberapa ulama terkenal dan produktif seperti Syaikh Dawud al-Fattani dan Syaikh Ahmad al-Fattani. Di antara para ulama Melayu, Syaikh Dawud al-Fattani bahkan pernah dianggap sebagai “the most productive author of Kitab Jawi in the nineteenth century”. Ia telah menghasilkan sebanyak 66 kitab berkaitan pelbagai bidang keislaman. Berkaitan dengan keberadaannya sebagai pusat kebudayaan Islam-Melayu, Patani menjadi rujukan masyarakat Muslim Melayu untuk memperolehi pendidikan dasar keislaman sebelum mereka melanjutkan menimba ilmu di lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah, khususnya di Haramayn: Makkah dan Madinah.
Murid-murid yang datang untuk belajar di Patani pun berasal dari berbagai belahan Dunia Melayu, termasuk Melayu-Indonesia.
Di antara ulama Melayu-Indonesia yang pernah menempuh pendidikan dasarnya di beberapa lembaga pendidikan tradisional (pondok) di Patani adalah Syaikh Abdussamad al-Palimbani, seorang ulama yang paling produktif dan paling terkemuka dari Palembang. Di Patani inilah sesungguhnya al-Palimbani memperoleh “modal awal” untuk menjadi seorang pengarang dan penerjemah kitab di dunia Melayu.
Dalam konteks pendidikan ini, Patani sesungguhnya memiliki budaya dan karakter yang unik, baik yang berkaitan dengan masyarakat ataupun institusinya. Seperti halnya di wilayah Melayu-Nusantara lain, seperti Indonesia, Patani melahirkan banyak institusi pendidikan tradisional yang disebut pondok, dengan “tok guru” (Jawa: Kiai) sebagai pemimpin spiritualnya.
Melalui insitusi pondok ini, Patani berhasil menarik perhatian kelompok Muslim di wilayah lain untuk datang dan belajar agama di sana. Akhirnya, melalui proses belajar-mengajar di pondok yang berlangsung secara bersama inilah, Patani kemudian menjadi salah satu early center of Islam, atau, seperti telah dikemukakan, sebagai cradle of Islam in Southeast Asia. Kita boleh menyebut beberapa pondok yang beberapa di antaranya masih dapat dijumpai hingga kini, yakni Pondok Dalo, Pondok Semla, Pondok Bermin, Pondok Mango, dan beberapa pondok lain yang namanya selalu dihubungkan dengan “tok guru”nya masing-masing.
Perihatin
Patani, yang secara geografis terletak di pesisir timur wilayah Selatan Thailand ini, sebelumnya pernah menjadi salah satu pusat kerajaan Melayu, dan hingga kini, sisa-sisa kejayaannya tersebut masih kelihatan, terutama kerana komuniti Muslim Melayu di Patani masih menggunakan bahasa Melayu (dialek Yawi/Jawi) dalam kehidupan seharian mereka.
Penggunaan bahasa Melayu ini nampaknya bukan kerana mereka tidak menguasai bahasa Thai, tetapi lebih merupakan upaya perumusan identiti etnik dan agama, kerana bagi mereka, bahasa Melayu tidak sekadar berfungsi sebagai bahasa ibu (mother tongue) belaka, lebih dari itu, bahasa Melayu adalah juga identiti keberagamaan.
Dalam hal ini, menjadi Melayu berarti menjadi seorang Muslim, kerana bahasa Melayu sangat erat terkait dengan Islam dan berbagai warisan budayanya. Inilah, antara lain, yang membezakan secara jelas Muslim Melayu-Patani dengan komuniti Thai lainnya, baik dalam hal bahasa, adat istiadat, agama, ataupun pola pikir mereka.
Kini, Patani merupakan salah satu dari empat daerah paling selatan di Thailand,
selain Yala, Narathiwat, dan Satun. Sejak awal, keempat daerah ini memang merupakan asas penting komuniti Melayu yang hampir seluruhnya beragama Islam.
Patani sendiri pernah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam, dan—dalam konteks dunia Muslim Melayu—bahkan pernah dijuluki sebagai cradle of Islam. Sebutan ini nampaknya tidak terlalu berlebihan jika melihat kenyataan bahawa sejak dekad pertama abad 18 hingga awal abad 19, Patani telah melahirkan beberapa ulama terkenal dan produktif seperti Syaikh Dawud al-Fattani dan Syaikh Ahmad al-Fattani. Di antara para ulama Melayu, Syaikh Dawud al-Fattani bahkan pernah dianggap sebagai “the most productive author of Kitab Jawi in the nineteenth century”. Ia telah menghasilkan sebanyak 66 kitab berkaitan pelbagai bidang keislaman. Berkaitan dengan keberadaannya sebagai pusat kebudayaan Islam-Melayu, Patani menjadi rujukan masyarakat Muslim Melayu untuk memperolehi pendidikan dasar keislaman sebelum mereka melanjutkan menimba ilmu di lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah, khususnya di Haramayn: Makkah dan Madinah.
Murid-murid yang datang untuk belajar di Patani pun berasal dari berbagai belahan Dunia Melayu, termasuk Melayu-Indonesia.
Di antara ulama Melayu-Indonesia yang pernah menempuh pendidikan dasarnya di beberapa lembaga pendidikan tradisional (pondok) di Patani adalah Syaikh Abdussamad al-Palimbani, seorang ulama yang paling produktif dan paling terkemuka dari Palembang. Di Patani inilah sesungguhnya al-Palimbani memperoleh “modal awal” untuk menjadi seorang pengarang dan penerjemah kitab di dunia Melayu.
Dalam konteks pendidikan ini, Patani sesungguhnya memiliki budaya dan karakter yang unik, baik yang berkaitan dengan masyarakat ataupun institusinya. Seperti halnya di wilayah Melayu-Nusantara lain, seperti Indonesia, Patani melahirkan banyak institusi pendidikan tradisional yang disebut pondok, dengan “tok guru” (Jawa: Kiai) sebagai pemimpin spiritualnya.
Melalui insitusi pondok ini, Patani berhasil menarik perhatian kelompok Muslim di wilayah lain untuk datang dan belajar agama di sana. Akhirnya, melalui proses belajar-mengajar di pondok yang berlangsung secara bersama inilah, Patani kemudian menjadi salah satu early center of Islam, atau, seperti telah dikemukakan, sebagai cradle of Islam in Southeast Asia. Kita boleh menyebut beberapa pondok yang beberapa di antaranya masih dapat dijumpai hingga kini, yakni Pondok Dalo, Pondok Semla, Pondok Bermin, Pondok Mango, dan beberapa pondok lain yang namanya selalu dihubungkan dengan “tok guru”nya masing-masing.
Perihatin
No comments:
Post a Comment