by Ym Nikmohdkamal Tydpmqtk on Sunday, January 30, 2011 at 2:43pm
Imam Muzany bercerita,
”Aku menemui Imam Asy-Syafi’iy menjelang wafatnya, lalu aku berkata,”bagaimana keadaanmu pagi ini , wahai ustadzku?”
beliau menjawab, “Pagi ini aku akan melakukan parjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tau; apakah diriku berjalan ke syurga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan , atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”
Aku(Al-Muzany) berkata, “Nasihatilah aku”.
Asy-Syafi’iy berpesan kepadaku, “Bertaqwalah kepada Allah, parmisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu dan jangan lupa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah apa-apa yang Dia haramkan, laksanakanlah segala yang Dia wajibkan, hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada. Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai Dzikir dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang mendzolimimu, sambunglah orang yang memutus silaturrahmi kepadamu, berbuat baiklah kepada siapa yang bebuat jelek kepadamu, bersabarlah tehadap segala musibah, berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketaqwaan.”
Aku(Al-Muzany) berkata “Tambahkanlah (nasihatmu) kepadaku.”
Beliau melanjutkan, “Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata pencaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harap adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai jilbabmu, shadaqoh sebagai pelindungmu dan zakat sebagai bentengmu. Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tidak tegesa-gesa sebagai menterimu, tawakkal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu dan kefakiran sebagai pembaringanmu. Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Qur’an sebagai pembicaramu dengan kejelasan, jadikanlah Allah sebagai penyejukmu. Siapa yang sifatnya seperti ini maka syurga adalah tempat tinggalnya.”
Kemudian Asy-Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersyair:
Kepada-Mu -wahai Ilâh segenap makhluq,
wahai pemilik anugerah dan kebaikan-,
kuangkat harapanku,
walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa.
Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku,
kujadikan harapan pengampunan-Mu sebagai tangga bagiku
Kurasa dosaku teramatlah besar,
namun tatkala dosa-dosa itu kubandingkan dengan maaf-Mu -wahai Rabb-ku-,
ternyata maaf-Mu lebihlah besar
Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa,
dan terus-menerus Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan.
Andaikata bukan karena-Mu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh iblis bagaimana tidak,
sedang dia pernah menyesatkan kesayangan-Mu, Adam.
Kalaulah Engkau memaafkan aku,
maka Engkau telah memaafkan seorang yang congkak,
zholim lagi sewenang-wenang,
yang masih terus berbuat dosa.
Andai kata Engkau menyiksaku,
tidaklah aku berputus asa,walaupun diriku telah Engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku.
Dosaku sangatlah besar,
dahulu dan sekarang,
namun maaf-Mu -wahai Maha Pemaaf- lebih tinggi dan lebih besar.”
Tarikh Ibnu Asâkir juz 51 hal. 430-431Sumber: Majalah An-Nashihah vol.13 thn 1429 H/2008 M
Imam Muzany bercerita,
”Aku menemui Imam Asy-Syafi’iy menjelang wafatnya, lalu aku berkata,”bagaimana keadaanmu pagi ini , wahai ustadzku?”
beliau menjawab, “Pagi ini aku akan melakukan parjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tau; apakah diriku berjalan ke syurga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan , atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”
Aku(Al-Muzany) berkata, “Nasihatilah aku”.
Asy-Syafi’iy berpesan kepadaku, “Bertaqwalah kepada Allah, parmisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu dan jangan lupa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah apa-apa yang Dia haramkan, laksanakanlah segala yang Dia wajibkan, hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada. Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai Dzikir dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang mendzolimimu, sambunglah orang yang memutus silaturrahmi kepadamu, berbuat baiklah kepada siapa yang bebuat jelek kepadamu, bersabarlah tehadap segala musibah, berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketaqwaan.”
Aku(Al-Muzany) berkata “Tambahkanlah (nasihatmu) kepadaku.”
Beliau melanjutkan, “Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata pencaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harap adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai jilbabmu, shadaqoh sebagai pelindungmu dan zakat sebagai bentengmu. Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tidak tegesa-gesa sebagai menterimu, tawakkal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu dan kefakiran sebagai pembaringanmu. Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Qur’an sebagai pembicaramu dengan kejelasan, jadikanlah Allah sebagai penyejukmu. Siapa yang sifatnya seperti ini maka syurga adalah tempat tinggalnya.”
Kemudian Asy-Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersyair:
Kepada-Mu -wahai Ilâh segenap makhluq,
wahai pemilik anugerah dan kebaikan-,
kuangkat harapanku,
walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa.
Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku,
kujadikan harapan pengampunan-Mu sebagai tangga bagiku
Kurasa dosaku teramatlah besar,
namun tatkala dosa-dosa itu kubandingkan dengan maaf-Mu -wahai Rabb-ku-,
ternyata maaf-Mu lebihlah besar
Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa,
dan terus-menerus Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan.
Andaikata bukan karena-Mu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh iblis bagaimana tidak,
sedang dia pernah menyesatkan kesayangan-Mu, Adam.
Kalaulah Engkau memaafkan aku,
maka Engkau telah memaafkan seorang yang congkak,
zholim lagi sewenang-wenang,
yang masih terus berbuat dosa.
Andai kata Engkau menyiksaku,
tidaklah aku berputus asa,walaupun diriku telah Engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku.
Dosaku sangatlah besar,
dahulu dan sekarang,
namun maaf-Mu -wahai Maha Pemaaf- lebih tinggi dan lebih besar.”
Tarikh Ibnu Asâkir juz 51 hal. 430-431Sumber: Majalah An-Nashihah vol.13 thn 1429 H/2008 M
No comments:
Post a Comment